JAKARTA – Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun banyak pihak yang menilai, nilai-nilai demokrasi di Indonesia luntur dalam beberapa tahun ke belakang, utamanya jelang Pemilu 2024.
Klaim bahwa demokrasi di Tanah Air sedang tidak baik-baik saja muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa seseorang di bawah usia 40 tahun boleh mencalonkan diri sebagai calon presiden maupun wakil presiden asalkan pernah atau sedang menjabat kepala daerah yang dipilih melalui pemilu.
“Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tapi dalam beberapa tahun terakir dan hari ini dihadapkan pada situasi bahwa demokrasi kita sedang diuji resiliensinya. Daya tahan demokrasi kita sedang diuji,” kata aktivis perempuan Jalaswari Pramodawardhani, dalam acara dialog publik bertajuk Perempuan Bergerak Menguatkan Demokrasi: Netralitas sebagai Keniscayaan di Hotel Arya Duta, Jakarta, Jumat 10 November 2023.
“Apakah nanti di Pemilu 2024 kita mampu melewati ujian ini atau justru kita kembali ke masa-masa kelam di mana demokrasi begitu mudah dipergunakan oleh para penguasa untuk melanggengkan, menyalahgunakan kekuasaan untuk menjadikan demokrasi hanya sebagai kendaraan demi berkuasa,” imbuh wanita yang juga menjabat sebagai Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan Keamanan dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden Republik Indonesia.
Peran Perempuan dalam Reformasi
Demokrasi adalah kata yang begitu diagung-agungkan masyarakat Indonesia sejak era reformasi atau bertepatan dengan runtuhnya Orde Baru pada 1998. Sebagaimana diketahui, peristiwa 1998 tidak bisa dihilangkan dari sejarah Indonesia.
Saat itu, terjadi demonstrasi besar-besaran untuk melengserkan Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Di antara ribuan mahasiwa yang melakukan demonstrasi, para aktivis perempuan juga ikut menyuarakan pendapat mereka, salah satunya adalah Dr. (H.C). Dra Hj. Sinta Nuriyah, M.Hum, istri mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
Diceritakan Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Nia Syarifuddin, Sinta Nuriyah termasuk yang gigih menyuarakan reformasi, lepas dari Orde Baru yang dinilai kental dengan nepotismenya.
Namun, setelah dua dekade lebih sejak peristiwa 1998, Indonesia kembali dihantui oleh bayang-bayang nepotisme dan politik dinasti menjelang Pemilu 2024.
“Pemilu adalah hal yang biasa lima tahun sekali, memilih pemimpin adalah hal biasa. Kita biasa berbeda. Tapi yang kita harapkan dalam proses ini adalah pelaksanaan Pemilunya memang betul-betul harus dilakukan dengan baik, dengan sistem yang jurdil dan yang pastinya harus ada netralitas yang kita sepakati bersama,” tutur Nia.
“Di satu sisi saya mau menyampaikan bahwa mungkin orang, terutama anak muda, kadang lupa, seolah-olah perempuan tidak ada dalam konteks hal-hal yang penting di bangsa ini, saya rasa itu perlu diperbaiki karena saya sendiri akan berkata bahwa reformasi itu dimulai dari inisiator Suara Ibu Peduli (SIP),” Nia menambahkan.
Nia menyayangkan bahwa di era sekarang ini, peran perempuan dalam demokrasi kerap diabaikan. Padahal menurutnya, saat gerakan reformasi pada 1998 lalu, gerakan perempuan turut andil dalam menjungkalkan era Orde Baru.
Perempuan yang tergabung dalam SIP berdiri di Bunderan Hotel Indonesia membagikan bunga kepada prajurit ABRI yang berjaga. Aksi pada 23 Februari 1998 itu merupakan aksi protes terhadap tingginya harga kebutuhan pokok, terutama susu.
SIP memprotes pemerintah yang tidak memperhatikan rakyat kecil. SIP juga mendesak pemerintah menjadikan krisis ekonomi sebagai perhatian utama.
“Ketika anak mahasiswa mendominasi gerakan reformasi jangan dilupakan bahwa itu dimulai dari sebuah gerakan perempuan,” kata Nia.
Perempuan Tiang Demokrasi
Bicara soal demokrasi, kita tidak bisa melupakan bagaimana pada 1998 perempuan menjadi motor pertama, sebagai upaya untuk mendorong demokrasi Indonesia. Setelah itu kita melihat bagaimana kekuatan perempuan untuk mendorong upaya reformasi politik maupun reformasi hukum.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, menjelang Pemilu 2024 dinamika politik Tanah Air menjadi hal yang menarik diikuti perkembangannya. Presiden Joko Widodo bahkan menyebut makin dekat Pilpres, politik Indonesia justru makin sering diwarnai drakor (drama korea).
Sinta Nuriyah, istri Presiden Keempat Indonesia Abdurrahman Wahid tidak menampik adanya drama-drama tersebut. Ia menyoroti bagaimana jabatan dan kekuasaan masih menjadi mahkota yang harus diperebutkan.
Dalam situasi seperti ini, Sinta mengatakan peran perempuan sangat dibutuhkan. Menurutnya, perempuan memiliki beribu kekuatan untuk mengubah masa depan.
“Saat ini Indonesia masih terasa sedikit panas, bukan karena hujannya masih jarang bukan pula karena adanya kebakaran-kebaran hutan, tapi karena masih ada gesekan-gesekan dan drakor-drakor yang dimainkan,” kata Sinta.
Lebih lanjut wanita kelahiran 1948 ini mengatakan bahwa perempuan adalah tiang negara. Ia mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad yang mengatakan, ‘Kalau perempuannya baik, maka negaranya baik. Kalau perempuannya bobrok, maka negaranya juga akan bobrok’.
“Kalau kita tarik dalam konteks politik, hadits ini mencerminkan peran dan posisi strategis perempuan dalam demokrasi secara kontekstual,” Sinta menuturkan.
“Hal ini dapat dimaknai perempuan adalah tiang demokrasi. Maju mundurnya tiang demokrasi suatu bangsa tergantung pada perempuan,” Sinta menambahkan.
Ia juga menjelaskan beberapa alasan mengapa hadits tersebut dapat dimaknai dalam konteks demokrasi. Pertama, secara umum dalam demokrasi adalah keluarga, artinya keluarga menjadi titik bijak pertama dalam membangun sikap demokrasi.
Di sini, ia menuturkan peran perempuan menjadi penting dalam membangun sikap demokrasi atas berbagai perbedaan pilihan politik.
BACA JUGA:
Kedua, secara kuantitatif perempuan adalah jumlah terbesar dalam pemilu. Secara otomatis perempuan akan menjadi penentu dalam demokrasi elektoral. Inilah sebabnya perempuan menjadi target para kandidat karena berperan besar dalam kontestasi politik.
“Karena posisinya sebagai tiang demokrasi inilah maka perempuan perlu menjaga netralitasnya dalam kontestasi politik. Karena kalau tiang itu condong atau miring, maka demokrasi miring dan buntu,” jelasnya.
“Netralitas di sini bukan berarti kaum perempuan tidak boleh memilih pilihan, mendukung, mempunyai pilihan, tapi justru menjadi pelindung atas pilihan setiap orang sekaligus menjadi perajut atas berbagai pilihan yang berbeda. Inilah makna netralitas perempuan dalam demokrasi,” kata Sinta menyudahi.