Bagikan:

JAKARTA – Artis kawakan Lulu Tobing kembali menyita perhatian. Ia menggugat cerai suaminya, Bani Maulana Mulia. Yang mengejutkan, ini adalah kali kedua Lulu Tobing melayangkan gugatan cerai dengan anak ketiga dari Soedarpo Sastrosatomo, pendiri PT Samudera Indonesia Tbk.

Meski terkenal sebagai artis sinetron dan pemain film, Lulu Tobing termasuk figur yang jarang mengumbar kehidupan pribadinya. Sampai pada suatu kesempatan, wanita kelahiran 21 November 1977 itu mengaku menjalani gaya hidup slow living.

"Gue benar-benar hidup gue slow banget ya. Gue nggak kompetitif orangnya, gue tidak ambisius, gue slow banget. Seumur-umur nggak punya ambisi jadi gue cuman go with flow," ucap Lulu Tobing ketika menjadi tamu di kanal Youtube Melanie Ricardo, Senin (10/7/2023).

Di tengah kehidupan yang serba cepat sekarang ini, memilih hidup slow living tidaklah mudah. Terutama ketika kita melihat pencapaian orang lain yang terlihat mulus. Namun, slow living perlu dilakukan sebagai jeda di tengah hiruk-pikuk kehidupan.

Berawal dari Melawan Gerakan Cepat Saji

Popularitas slow living terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun sebenarnya slow living sudah tumbuh sejak tahun 1980-an di Roma.

Uniknya, konsep slow living justru bermula dari pembukaan gerai McDonald’s di ibu kota Italia. Dikutip The Good Trade, saat itu restoran tersebut merupakan McDonald’s terbesar di dunia dan mengancam makanan tradisional Italia, sehingga memicu protes dari warga Italia.

Sebagai tanggapannya, aktivis politik Carlo Petrini mendirikan gerakan International Slow Food pada 1989, yang memusatkan makanan lokal yang disiapkan secara tradisional yang bertentangan dengan “makanan cepat saji”. Sederhananya, slow living awalnya dibuat untuk menentang budaya cepat saji.

Seiring berjalannya waktu, slow living mencakup banyak aspek. Bahkan ketika pandemi Covid-19, gerakan slow living makin populer karena saat itu hampir semua orang dipaksa harus berhenti sejenak dari hiruk pikuk kehidupan.

Slow living awalnya adalah gerakan untuk menentang makanan cepat saji. (Unsplash/Nathan Dumlau)

Meningkatnya minat terhadap konsep slow living selama pandemi dibuktikan dengan laporan Google, yang mengatakan ada peningkatan empat kali lipat dalam jumlah video YouTube dengan judul slow living dari tahun 2019 ke tahun 2020.

Tapi di tengah kepopulerannya, slow living sering dikaitkan dengan gaya hidup yang hanya bisa diterapkan oleh kalangan atas atau setidaknya yang sudah berkecukupan. Karena untuk menikmati hidup yang lebih santai, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang stabil dalam keuangan.

Padahal kenyataannya tidak demikian. Beberapa contoh praktik slow living adalah mengurangi konsumsi dan berusaha membeli barang yang berkualitas lebih lama. Mengurangi penggunaan media sosial dan memasak makanan sendiri juga termasuk contoh slow living.

Tidak Sama dengan Malas

Mengutip Groov, slow living adalah gerakan di mana seseorang memutuskan untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan bermakna dengan memperlambat segalanya dan menghargai dunia sekitar serta apa yang mereka miliki.

Sementara itu, beberpa orang mendefinisikan slow living hanya ebagai meluangkan lebih banyak waktu untuk perawatan diri. Ada pula yang mendefinisikan ini sebagai upaya untuk menjauh dari tujuan-tujuan ‘tradisional’ demi mengejar kehidupan yang lebih santai.

Selain itu, psikolog klinis Veronica Adesla menjelaskan, slow living merupakan gaya hidup yang berkaitan dengan menjalani hidup dengan lebih bermakna.

Slow living adalah gaya hidup dengan dasar pemikiran menjalani hidup dengan lebih bermakna dan sesuai dengan apa yang kamu paling hargai dalam hidup,” kata Veronica.

Lulu Tobing menerapkan gaya hidup slow living. (Tangkapan Layar YouTube)

“Caranya adalah dengan melakukan segala sesuatu dengan kecepatan yang tepat, melambat, dan tidak terburu-buru, namun lebih berfokus pada melakukannya dengan lebih baik,” sambung Veronica.

Mengenai ucapan Lulu Tobing yang tanpa ambisi, psikolog klinis Anastasia Sari Dewi mengatakan itu adalah hal yang normal. Menurut Sari, yang paling penting dalam hidup adalah memastikan diri sebagai individu yang menjalankan fungsinya dalam kehidupan.

“Orang melakukan sesuatu pasti ada selera yang cocok dengan dia. Slow living memang seakan-seakan memang hidup tanpa ambisi, mindful dengan apa yang dimiliki saat ini dia lakukan lagi," kata Sari.

Meski slow living terkesan tanpa ambisi, Sari mengatakan bukan berarti pelaku gaya hidup slow living hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun. Slow living berbeda dengan malas-malasan.

"Pastikan ketika menjalani slow living fungsi perkembangan di usia Anda tetap berjalan. Kalau di usia pekerja ya tetap bekerja. Slow living itu hanya gaya, cara, atau hanya metodenya. Tapi fungsi dia sebagai individu sesuai dengan usianya perlu tetap berjalan. Baru dikatakan secara mental dia sehat," kata Sari lagi.