JAKARTA - Indonesia merupakan salah satu negara dengan keragaman bahasa yang sangat banyak di dunia. Namun, di tengah perkembangan zaman yang begitu pesat, bahasa daerah di Indonesia terus berjuang mempertahankan eksistensinya mengalami kepunahan. Salah satu penyebabnya diduga adalah karena keengganan generasi muda yang menggunakan bahasa daerah lantaran dianggap tidak keren.
Padahal bahasa daerah memiliki kontribusi besar dalam mempertahaan kebudayaan Indonesia. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, dinyatakan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun temurun oleh warga negara Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ancaman punahnya bahasa daerah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data dari Badan Bahasa Kemendikbud, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Namun saat ini sebanyak 38 bahasa daerah menjadi target revitalisasi, 11 di antaranya sudah punah dan 25 lainnya diancam kepunahan.
Dianggap Tidak Bernilai Ekonomi
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Prof. Endang Aminudin Aziz mengatakan ancaman terhadap kepunahan bahasa daerah selalu terjadi. Menurut data, sampai 2019 lalu sudah ada 11 bahasa daerah yang dinyatakan punah karena sudah tidak ada penuturnya lagi.
“Data (bahasa daerah) yang sudah dinyatakan punah karena tidak ada lagi penuturnya pada 2019, sudah ada 11 bahasa, terutama di wilayah timur,” kata Prof. Endang, dalam Rapat Koordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam Program Revitalisasi Bahasa Daerah di Provinsi Jawa Tengah pada 14 Maret 2023.
Ancaman kepunahan bahasa daerah tidak hanya terjadi pada bahasa daerah yang penuturnya sedikit, tetapi juga terjadi pada bahasa daerah yang penuturnya banyak. Ancaman punahnya bahasa daerah di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Imam Budi Utomo, selaku Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, mengatakan setidaknya ada tiga faktor yang menyebkan bahasa daerah terancam punah.
Faktor pertama dan paling utama adalah sikap dari penutur bahasa. Apakah penutur bahasa memiliki sikap positif atau negatif.
“Sikap positif maksudnya apakah masyarakat di daerah masih punya sikap bangga menggunakan bahasa daerahnya. Sikap negatif adalah penutur sudah enggan menggunakan bahasa daerah,” kata Imam kepada VOI.
“Menggunakan bahasa daerah sekarang ini sering diidentikan dengan orang desa, tidak modern, dan tidak memiliki nilai ekonomi. Inilah yang menyebabkan berkurangnya penutur bahasa daerah sehingga terancam punah,” tutur Imam lagi.
Faktor yang kedua adalah gagalnya transmisi bahasa daerah dari orang tua kepada anak mereka. Di era sekarang ini, banyak orang tua yang enggan menggunakan bahasa daerah dengan anaknya. Orang juga sudah semakin masif dan luas menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing, di keluarga, masyarakat, komunitas, serta tempat kerja sehingga bahasa daerah terlupakan.
“Penyebab ketiga adalah adanya migrasi atau mobilitas yang tinggi, serta orang yang melakukan kawin silang atau perkawinan dua etnis berbeda,” Imam menambahkan.
Di sisi lain, Kepala Pusat Riset (Kapusris) Preservasi Bahasa dan Sastra BRIN, Obing Katubi, menambahkan penyebab punahnya bahasa daerah. Menurutnya, teknologi dan media digital telah menjadi salah satu pemicu utama dalam perubahan perilaku berbahasa masyarakat.
“Kontak bahasa yang semakin masif karena media digital, sehingga memudahkan anggota komunitas bahasa menjelajahi bahasa lain di dunia maya juga jadi faktornya,” tutur Obing.
Revitalisasi Bahasa Daerah
Untuk memperlambat penurunan penutur bahasa daerah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melakukan revitalisasi bahasa daerah melalui Merdeka Belajar.
Revitalisasi bahasa adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk melindungi bahasa dan sastra dari kepunahan. Menurut Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra (Pusbaling), revitalisasi bahasa daerah dapat dilakukan melalui lima langkah, yaitu pemetaan bahasa, kajian vitalisasi bahasa, konservasi, revitalisasi, dan registrasi.
“Kita bisa memperlambat ancaman kepunahan bahasa daerah dengan menumbuhkan pola pikir, bagaimana penutur bahasa memiliki sikap positif terhadap bahasa daerah,” Imam melanjutkan.
“Revitalisasi bahasa menyasar sekolah dan komunitas terkait, mulai dari komunitas Bahasa, keluarga, siswa, guru.
“Sementara registrasi maksudnya adalah mendaftarkan atau mencatatkan bahasa daerah ke badan dunia UNESCO. Ini perlu dilakukan supaya bahasa daerah kita tidak diklaim oleh orang lain. Ini adalah sebagai bentuk perlindungan secara internasional,” tutur Imam.
Revitalisasi bahasa daerah perlu dilakukan untuk memperlambat kepunahan penutur bahasa daerah. Seperti telah disebutkan sebelumnya, Kemenbudristek menyebut 11 bahasa daerah di Indonesian sudah punah dan 25 lainnya terancam.
Berdasarkan data Kemenbudristek, Provinsi Maluku menjadi daerah yang paling banyak kehilangan bahasa daerah yaitu sebanyak delapan bahasa. Sementara itu, tiga bahasa lainnya berasal dari Maluku Utara Papua Barat, dan Papua.
Dampak Kepunahan Bahasa Daerah
Assistant General For Education UNESCO, Stefania Giannini, mengatakan jika bahasa daerah termasuk dalam kondisi kritis, maka bersama bahasa daerah itu, budaya dunia dan sistem pengetahuan leluhur ikut terancam punah.
Tujuan dilakukannya perlindungan dan pelestarian bahasa, kata Stefania Giannini adalah menjamin hak masyarakat adat untuk melestarikan, merevitalisasi, dan mempromosikan bahasa mereka, dan mengutamakan keragaman bahasa dan multibahasa ke dalam semua pembangunan berkelanjutan yang berjalan.
“Kita harus memastikan bahwa teknologi digital mendukung penggunaan dan pelestarian bahasa dan keragaman bahasa ini,” ujar Stefania, dikutip laman resmi Kemenbudristek.
BACA JUGA:
Kepunahan bahasa daerah tidak boleh dibiarkan terjadi. Karena bagaimana pun, bahasa daerah adalah bagian penting dalam budaya bangsa yang harus dijaga dan dilestarikan.
“Bahasa bukan hanya sekumpulan kata. Di dalam bahasa ada khasanah kekayaan budaya, pemikiran, pengetahuan. Bahasa daerah juga bisa menunjukkan sopan santun masyarakat. Makanya jika bahasa daerah punah, maka hilang pula pengetahuan budaya,” tegas Imam.