Selamat Hari Lahir Pancasila: Nilai-nilai Luhur Dasar Negara Indonesia Jangan Pernah Dilupakan
Pancasila adalah dasar negara, dan nilai-nilainya harus dijadikan semangat membangun peradaban bangsa. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA – Nilai-nilai luhur Pancasila mulai terlupakan. Pancasila tak lagi dijadikan sebagai acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku maupun dalam menentukan dan menyusun tata aturan hidup berbangsa dan bernegara.   

Dewasa ini, masyarakat dapat begitu mudahnya untuk saling memaki dan menghujat antar sesama. Tak hanya di kalangan akar rumput, kalangan elite pun mempertontonkan hal serupa. Bangsa Indonesia jelas seperti kehilangan jati diri saat ini.

Pelaksanaan demokrasi di Indonesia pun tak jelas ke arah mana. Bahkan, menurut Dr. Yoseph Umarhadi dalam bukunya ‘Hakikat manusia Pancasila Menurut Notonagoro dan Drijarkara’, sudah terancam oleh individualisme dan liberalisme.

Praktik demokrasi saat ini lebih bersandar pada suara individual, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam memilih pemimpin. Situasi ini menjadi jauh lebih buruk ketika elite partai (dan elite pemerintah) bersekongkol dengan elite ekonomi.

Demokrasi akhirnya merepresentasikan diri dalam keberpihakannya kepada kelompok sosial tertentu, yakni kelompok kaya dan bukan keseluruhan warga negara.

Padahal, sila keempat Pancasila, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan telah menunjukkan jalan bagaimana sejatinya penerapan demokrasi di Indonesia dilakukan.

Selamat Hari Lahir Pancasila. (Istimewa)

Sila keempat, kata Dr. Yoseph Umarhadi dalam bukunya ‘Hakikat manusia Pancasila Menurut Notonagoro dan Drijarkara’, adalah dasar dari demokrasi Pancasila yang paling utama. Namun, ini tidak berdiri sendiri, tetap terhubung dengan sila-sila lainnya sebagai kesatuan sesuai kodrat manusia.

Artinya, demokrasi Pancasila tidak semata bersandar pada sila keempat, tetapi juga keseluruhan sila-sila Pancasila lainnya yang saling menjiwai sebagai realisasi kodrat manusia.

Dengan demikian, ukuran demokrasi Pancasila tidak semata pada kehendak rakyat seperti dalam pemahaman demokrasi umum, yakni pemerintahan dari, untuk, dan oleh rakyat, tetapi mencakup di dalamnya dasar moralitas tertinggi, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dasar kemanusiaan yang adil dan beradab sekaligus kesatuan dan bertujuan mencapai keadilan sosial.

Artinya, segala keputusan yang menyangkut kehidupan bersama ditentukan melalui musyawarah yang dipandu oleh kebajikan atau kebaikan.

“Oleh karena itu, demokrasi Pancasila mencakup demokrasi politik dan sosial ekonomi,” kata Yoseph.

Ancaman lain yang mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia dewasan ini adalah ancaman pragmatisme. Dengan terang benderang, praktik demokrasi Indonesia dalam beberapa dekade belakangan ini diwarnai praktik jual beli suara terutama saat pemilihan anggota legislatif maupun kepala daerah. Bahkan, tidak hanya terjadi saat pemilihan, melainkan juga terjadi pada tahap persiapan atau penetapan calon anggota legislatif atau kepala daerah.

“Istilah mahar atau keharusan seorang calon untuk menyerahkan sejumlah dana untuk bisa mendapatkan rekomendasi pimpinan partai politik untuk menjadi calon tetap adalah bukti bahwa pragmatisme juga melanda di kalangan partai politik,” kata Yoseph.

Itu jelas menjadi ancaman nyata dan merusak sendi-sendi demokrasi Pancasila. Pragmatisme bertentangan dengan hakikat filsafat Pancasila karena merusak hakikat sila keempat dan sama sekali tidak dijiwai oleh sila pertama, kedua, ketiga, lebih-lebih sila kelima.

“Praktik ini membelokkan hakikat sila keempat dan menjauhkan dari tujuan sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini karena tujuan politiknya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Hubungan antaramanusia tidak lagi merupakan hubungan antarsubjek yang bermartabat, tetapi hubungan subjek yang mengekploitasi manusia lain sebagai objek,” tulis Yoseph.

Ciri Demokrasi Pancasila

Sejatinya, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang bersandar pada filsafat Pancasila. Demokrasi yang tidak hanya berakar pada budaya bangsa, melainkan demokrasi yang mampu menjawab kebutuhan dalam meraih tujuan nasional Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Ciri-cirinya, pertama demokrasi demokrasi yang secara penuh bertanggung jawab kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, pelaksanaan demokrasi Pancasila adalah pelaksanaan atas ajaran kebaikan-kebaikan yang bersumber kepada Tuhan atau agama.

“Nilai-nilai Ketuhanan inilah yang menjadi dasar bagi seluruh tindakan dalam berdemokrasi, baik bagi para pemimpin yang sedang memegang kekuasaan, hendak mendapatkan kekuasaan, dan rakyat yang akan menentukan pemimpinnya untuk berkuasa,” kata Yoseph.

Kedua, demokrasi yang sepenuhnya bertanggung jawab kepada kemanusiaan. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang menempatkan manusia sebagai subjek yang harus dihormati sebagai sesama manusia.

Ketiga, demokrasi Pancasila senantiasa dituntut untuk menjaga kesatuan. Ini merupakan dimensi yang perlu ditekankan karena realitasnya demi kekuasaan, para calon pemimpin sering kali menggunakan beragam cara yang tidak memedulikan usaha menjaga kesatuan berbangsa.

Ilustrasi – Praktik jual-beli suara dalam Pemilu merusak sendi-sendi demokrasi Pancasila. (Antara/Yusran Uccang/ss/ama)

Keempat, demokrasi Pancasila harus senantiasa berorientasi pada keadilan. Demokrasi politik dan demokrasi sosial ekonomi harus berjalan bersama dan demokrasi politik merupakan sarana untuk meraih keadilan sosial ekonomi bagi seluruh rakyat.

Mengutip pernyataan Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, "Ketika kita mencintai Tuhan (nilai Ketuhanan), berarti kita akan konsisten menjaga kemanusiaan (nilai kemanusiaan). Dalam ruh persatuan, maka tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah (nilai persatuan).”

“Tak ada minoritas maupun mayoritas, itulah musyawarah. Musyawarah itu win-win, bukan win-lose (nilai musyawarah dan kerakyatan). Saat kita sama-sama melakukan win-win solution, kita bisa menerima perbedaan dan adil. Itulah nilai keadilan sosial," Benny melanjutkan.

Pancasila adalah dasar negara. Bukan sekadar moral privat dengan hanya menghafal, tetapi juga moral publik dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila untuk arah kebijakan membangun bangsa.