Tren Negatif Bisnis Kuliner Kekinian: Cepat Melesat, Lenyap dalam Sekejap
Warunk Upnormal, bisnis kuliner kekinian yang telah memiliki 85 cabang di beberapa kota di Indonesia namun kini mengalami tren negatif. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA – Pertumbuhan bisnis kuliner memang sangat cepat tetapi jarang ada yang mampu bertahan lama. Statistik menyatakan lebih dari 70 persen bisnis kuliner harus gulung tikar hanya dalam periode 1-3 tahun.

Itu dalam kondisi normal. Lain hal saat masa pandemi jangankan jenama baru, jenama ternama yang sudah lebih dari 5 tahun pun sulit bertahan. Tengok Warunk Upnormal. Jenama kuliner yang dijalankan oleh CRP Group ini harus menutup sejumlah gerainya di beberapa kota, seperti di Bali, Palembang, dan Depok.

Padahal, Warung Upnormal sempat mengalami peningkatan pesat. Sekiranya hanya dalam kurun waktu lima tahun dari 2014-2019, perusahaan berhasil melakukan penetrasi pasar dengan menghadirkan 85 gerai Warunk Upnormal se-Indonesia.

Ritme tren bisnis kuliner, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, selalu berubah. Itulah mengapa, pengusaha kuliner harus mampu berinovasi. Lakukan rebranding beragam hal terkait menu dan produk.

Semisal terkait harga. Warunk Upnormal, kata Bhima, kurang memiliki pricing strategy menarik. Target pasar Warunk Upnormal adalah kalangan generasi Z, sehingga penentuan harga juga harus disesuaikan dengan karakter dan kemampuan pasar.

Warung Upnormal di Gorontalo, salah satu gerai yang kini harus tutup karena tren penurunan. (Istimewa)

Lalu, promosi. Penggunaan media sosial untuk promosi sangat efektif untuk generasi Z karena mereka sangat melek teknologi dan cepat mencoba hal-hal baru.

“Sehingga, bila ingin rebranding, promosi menu baru, dan hal lain, manfaatkan media sosial, gandeng influencer. Lihat fenomena Mixue misalnya yang sukses mendisrupsi pasar minuman boba,” kata Bhima kepada VOI pada 28 Februari 2023.

“Jadi jangan dilihat karena masyarakat Indonesia mengurangi makan di restoran atau jajan di luar rumah. Justru, pasca PPKM dicabut, keinginan masyarakat untuk makan di luar rumah sangat besar,” tambahnya.

CEO & Founder Koolva, Benny Batara pun memiliki catatan mengapa banyak gerai Warunk Upnormal yang tutup. Hal utama tentu harga. Kali pertama buka, menurut Benny, harga masih kompetitif, Rp50 ribu bisa untuk makan lebih dari satu orang.

“Namun saat ini, uang Rp50 ribu berasa tidak lagi cukup untuk satu orang, belum minumnya,” kata Benny dalam akun YouTube Bennix pada 31 Januari 2023.

Sehingga, segmen pasar mulai berpikir mencoba tempat lain yang harganya lebih terjangkau.

Nilai Investasi yang Tinggi

Faktor fisik gerai juga menjadi kendala. Warunk Upnormal selalu berada di lokasi strategis dengan desain arsitektur mewah. Memiliki fasilitas wifi dan banyak colokan listrik, memang cocok untuk belajar dan bekerja ataupun hangout.

Namun bagi mitra, biaya yang dibutuhkan menghadirkan itu sangat tinggi. Nilai investasi hanya untuk satu gerai Warunk Upnormal minimal Rp1 miliar, jauh lebih mahal dibanding Mixue.

"Ketika sebuah bisnis baru lahir, langsung keluarin budget untuk desain interior sedemikian mahal, budget untuk sewa tempat sedemikian mahal, sementara makanan yang dijual adalah indomie, telur, kornet, kapan akan balik modal? Itu sangat tidak rasional. Sehingga jangan heran kalau banyak mitra dari Upnormal yang tidak happy,” kata Benny.

Mixue, jenama es krim asal China yang saat ini sedang ngetren di Indonesia. (Instagram/@mixueindonesia)

Belum lagi sikap manajemen internal Warunk Upnormal yang dinilai terlalu top down, tidak mau mendengarkan masalah yang terjadi di lapangan dan masalah-masalah yang terjadi dengan mitranya.

“Satu hal yang paling gampang adalah penerapan menu. Bila data menunjukkan salah satu produknya jelek dan harus di-take out, maka akan langsung ditarik secara nasional. Padahal, sebetulnya produk tersebut masih laku di kota-kota tertentu,” ucap Benny.

Contoh KFC bisa berkembang begitu besar karena selalu mendengarkan input dari mitranya. Sehingga, mereka bisa berinovasi dalam hal menu makanan mengikuti perkembangan pasar di wilayahnya.

Tata Kelola

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali juga memberikan catatan tak jauh berbeda. Permasalahan yang terjadi di Warunk Upnormal bukan lagi menyoal aspek operasional.

“Segmentasi, branding, pricing, produknya seperti apa sudah selesai. Apalagi, sejak 2-3 tahun lalu, Salim Group sudah masuk ke sana. Kalau masalahnya hanya pricing mudah mengaturnya, mereka bisa membeli produk dari Salim Group seperti mi instant dengan harga jauh lebih murah. Salim tentu melihat kepada aspek strategis,” kata Rhenald seperti dilansir dari YouTube CNBC pada 8 Februari 2023.

Sehingga, masalah yang terjadi lebih ke manajemen internal. Banyak kalangan muda memang jago marketing, komunikasi, jago membuat produk, tetapi ketika menyangkut hal yang berkaitan dengan tata kelola bisnis dengan mitra belum semua mampu.

“Kalau sendirian, kita gampang mengaturnya. Tetapi, ketika kita kemudian bermitra, ingat di sana ada manajemen, ada accounting, ada pencatatan administrasi. Tidak bisa lagi mencampuradukkan antara pengeluaran pribadi dan pengeluaran perusahaan. Contoh Kaskus dengan entrepreneurial yang kuat. Namun, ketika Djarum Group masuk nuansanya terlihat berbeda,” tuturnya.

Sehingga, perlu upaya menyesuaikan dengan beragam kondisi, termasuk kondisi pasar yang terus berubah usai pandemi.

“Saya tadi konfirmasi, gerai (Warunk Upnormal) tidak ditutup semua tetapi mereka membuat itu menjadi lebih sehat,” imbuh Rhenald Kasali.