Bagikan:

JAKARTA – Menyaksikan perilaku korupsi semakin merajalela dan seolah sudah menjadi bagian dari ‘budaya’ saat ini, bagi Prof. Dr. Subroto, adalah hal yang paling menyedihkan. Menandakan Indonesia telah bergerak terlalu jauh, melenceng dari nilai-nilai luhur yang sudah dirumuskan oleh para tokoh pendiri bangsa.

Melupakan tujuan yang tertera dalam pembukaan UUD 1945, serta mengabaikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Semangat reformasi yang digaungkan ternyata tidak membawa manfaat banyak bagi kesejahteraan masyarakat.

Para orangtua seakan lebih senang mempertontonkan konflik berebut kekuasaan dibanding memberi contoh dalam berebut peran, saling bekerjasama dalam membangun bangsa yang adil sejahtera kepada para generasi muda.

Yang lebih miris lagi, sistem politik yang seharusnya melahirkan para pemimpin di berbagai lapisan masyarakat dan macam-macam bidang, kini malah semakin mudah melahirkan koruptor.

“Apa penyakit yang sedang kita derita?” kata Subroto dalam bukunya Indonesia di Tanganmu.

Dia mendiagnosis Indonesia tengah mengalami krisis. Pertama adalah krisis kepemimpinan.

Prof. Dr. Subroto ketika menyampaikan sambutan dalam ajang penganugerahan Subroto 2018, sebuah penghargaan untuk bidang energi di Indonesia.. (Kementerian ESDM)

Indonesia membutuhkan pemimpin nasional yang mampu mengangkat setiap elemen kekuatan dalam masyarakat untuk tumbuh dan berkembang, mampu bekerjasama, dan mampu secara aktif menjadi aktor-aktor pelaksana pembangunan.

Terutama adalah elemen masyarakat yang berada di bottom of pyramid’. Sesungguhnya kepada mereka eknomoni bangsa bergantung. Mereka adalah para petani, nelayan, petani hutan, para usahawan mikro dan kecil.

“Pemimpin nasional yang kita butuhkan adalah mereka yang memiliki hati untuk menguatkan para petani dan nelayan yang miskin, mendukung sebesar-besarnya para pengusaha mikro dan kecil agar mampu mengembangkan kemampuan produksi mereka,” tulis Subroto.

Mengembangkan sistem pendidikan yang mendorong anak-anak bangsa menjadi kreator, inovator, mendorong bangsa menjadi kekuatan produksi, bukan sekadar menjadi target pasar konsumtif negara-negara lain.

“Indonesia tidak boleh bangga menjadi bangsa pengimpor yang hanya menjadi sasaran pasar. Indonesia harus aktif juga menentukan arah ekonomi dunia. Ini yang membuat negara menjadi kuat dan tidak mudah terombang-ambing keinginan dunia,” kata Subroto.

Bila itu tak dapat diwujudkan, Indonesia tidak akan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Nasib petani, nelayan, dan usahawan mikro kecil semakin menderita. Bukan tidak mungkin pula, nantinya tidak ada generasi muda yang berminat terjun di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan di dalam negeri.

“Hasil akhir dari semua ini adalah semakin besarnya ketergantungan kita sebagai pengimpor bahan makanan. Situasi ini akan menggelinding seperti bola salju, kita menjadi bangsa yang semakin lemah karena ketergantungan yang begitu besar dalam menyediakan pangan bagi rakyat sendiri. Demikian pula yang terjadi dalam aspek-aspek produksi lainnya,” ungkapnya.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif meletakkan karangan bunga di atas pusara Prof. Dr. Subroto yang dimakamkan di TMP Kalibata pada 21 Desember 2022. (Petrominer/Fachry Latief)

Lebih parah lagi bila pemimpin negeri tidak mampu memberikan bekal karakter dan pengetahuan untuk para generasi muda saat ini. Bonus demografi akan berubah menjadi bencana. Pengangguran meningkat. Anggaran negara tersedot untuk menopang beban rakyat yang produktivitasnya rendah. Indonesia nantinya hanya akan menjadi negara penyedia buruh dengan upah murah.

Untuk itu, butuh pemahaman yang lebih dalam menentukan kriteria pemimpin yang ideal. Berintegritas, memiliki visi jelas ke depan, dan berpihak sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara adalah modal utama. Masyarakat harus selektif memilih calon pemimpinnya.

“Bila sebagian besar dari kita tidak memiliki pemahaman yang cukup, maka akan dengan mudah kita diombang-abingkan dengan praktik-praktik seleksi pemimpin yang bertujuan pragmatis, hanya untuk kepentingan sesaat dan orientasinya adalah untuk mendapatkan kekuasaan, mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari posisi berkuasa itu untuk diri dan kelompoknya sendiri,” pesan Subroto.

Krisis Konstitusi

Diagnosis kedua, yakni krisis konstitusi. Silakan elaborasi dan gali lebih lanjut setiap kata dan paragraf dari isi Pembukaan UUD 1945 termasuk bagian terakhir yang berisi butir-butir Pancasila. Ini, kata Subroto, seperti mercusuar yang memberi arah jelas tujuan dari pembentukan negara Indonesia.

Sayangnya, kehebatan UUD 1945 sebagai konstitusi negara mengalami perubahan yang cukup signifikan lewat amandemen pada 1998 hingga 2002. Subroto tak menampik, memang ada sejumlah perubahan yang bersifat menyempurnakan UUD 1945.

Namun, ada juga beberapa perubahan yang secara fundamental justru menyebabkan bangsa terjerumus dalam krisis ideologi, kekacauan sistem politik dan ketatanegaraan, serta salah arah dalam penyelenggaraan ekonomi.

“Hasil dari rangkaian amandemen UUD 1945 menunjukkan kita seakan-akan tak lagi berpihak pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam dasar negara Pancasila, tetapi lebih mengarah mengagungkan nilai-nilai individualisme. Berkebalikan dari semangat kebersamaan dan keadilan sosial,” kata Subroto.

Lihat bagaimana amandemen UUD 1945 Pasal 33 yang mengatur tentang bagaimana menyelenggarakan perekonomian bangsa. Awalnya, pasal ini memberi landasan dan arah bagi pengembangan perekonomian bangsa untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Untuk menguatkan ayat-ayat ini dijelaskan lebih lanjut pada penjelasan UUD 1945 sehingga interpretasi dan dasar penyelenggaraan ekonomi bangsa menjadi lebih tajam pemaknaannya.

Namun, lewat amandemen, Pasal 33 UUD 1945 yang awalnya terdiri dari 3 ayat, bertambah menjadi lima ayat. Ayat tambahan satu di antaranya berbunyi, “Perekonomian nasional di selenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

“Ayat ini sudah memasuki aspek teknis pelaksanaan ekonomi nasional, bukan lagi merupakan dasar penyelenggaraan ekonomi. Dalam aspek teknis tersebut dimasukkan elemen ‘efisiensi berkeadilan’ yang secara konseptual bisa memiliki perbedaan makna, apalagi bila kedua prinsip itu hanya disejajarkan begitu saja,” kata Mantan Menteri Pertambangan dan Energi era Orde Baru ini.

Perubahan UUD 1945, menurut Prof. Dr. Subroto, bukan berasal dari pengenalan dan penggalian terhadap nilai-nilai, akar budaya, dan kebijaksanaan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan merdeka. (icmimuda.id)

Efisiensi kerap dipahami sebagai konsep kuantitatif terukur dalam ekonomi.  Aliran-aliran utama dalam menilai efisiensi ekonomi menekankan pada pengaruh pemerintah dan pengaruh pasar. Bila efisiensi berkeadilan, artinya adil untuk pemerintah, pelaku pasar, atau untuk siapa?

Hal fatal selanjutnya, menurut Subroto, adalah amandemen keempat tahun 2002. Menghapus seluruh penjelasan UUD 1945. Penjelasan tidak lagi dianggap sebagai bagian dari batang tubuh, termasuk penjelasan tentang Pasal 33.

Belum lagi soal struktur pemegang kekuasaan tertinggi negara. Perubahan UUD 1945 memberikan posisi yang sangat besar terhadap sistem multipartai untuk memegang kekuasaan.

“Saya tidak bermaksud mengatakan UUD 1945 yang dulu kita pakai sama sekali kebal terhadap perubahan dan dianggap sudah sempurna. Tentu saja tidak,” kata Subroto.

Hal yang paling perlu disadari dan disesali adalah perubahan-perubahan itu bukan berasal dari pengenalan dan penggalian terhadap nilai-nilai, akar budaya, dan kebijaksanaan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan merdeka. Terkesan dilaksanakan terburu-buru dan hanya menjiplak dari negara lain.

Inilah yang menyebabkan UUD yang ada sekarang lebih banyak merugikan daripada menguntungkan bangsa.

“Oleh karena itu, yang perlu segera kita lakukan adalah mengkaji ulang amandemen UUD 1945 dan menyempurnakannya menjadi lebih berkesesuaian dengan nilai-nilai dan akar budaya bangsa kita. Yang mengedepankan kebersamaan, keberpihakan terhadap kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat, menuju cita-cita bangsa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” Subroto menandaskan.

Pria kelahiran Solo, 19 September 1923 ini meninggal pada 20 Desember 2022 sekitar pukul 16.25 WIB. Selamat jalan Prof. Dr. Subroto.