Selain Insentif, Konsumen Kendaraan Listrik Juga Butuh Kepastian Soal Stasiun Pengisian Daya
Presiden Jokowi meresmikan SPKLU Ultra Fast Charging pertama di Indonesia di Central Parkir ITDC Nusa Dua, Kabupaten Badung, Provinsi Bali pada 25 Maret 2022. (Sekretariat Kabinet/Laily Rachev)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah tengah melakukan tahap finalisasi aturan insentif untuk pembelian kendaraan listrik. Besaran insentif yang diberikan, kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, beragam sesuai dengan jenis kendaraan.

Semisal untuk pembelian mobil listrik, besaran insentif hingga Rp80 juta dan untuk mobil listrik berbasis hybrid sekitar Rp40 juta. Sedangkan untuk jenis kendaraan roda dua, pembelian motor listrik mendapat insentif sekitar Rp8 juta. Sementara, motor konversi menjadi motor listrik mendapat insentif sekitar Rp5 juta.

Pemberian insentif merupakan upaya lebih menggairahkan industri kendaraan listrik di Indonesia, serta mendorong peningkatan penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan yang lebih ramah lingkungan.

“Pemerintah sekarang sedang menghitung insentif tersebut. Insentif ini sangat penting dan disusun setelah mempelajari berbagai aturan dari negara-negara yang relatif lebih maju dalam penggunaan EV (electric vehicle),” ujar Agus dalam keterangan resminya, pada 15 Desember lalu.

Sejauh ini, penggunaan kendaraan listrik di Indonesia masih tergolong rendah. Baru sekitar 25.316 unit hingga September 2022, dengan rincian 21.668 unit motor listrik dan 3.317 unit mobil listrik. Tidak termasuk hybrid dan lainnya.

Artinya, hanya 16 persen dari total populasi kendaraan di Indonesia yang jumlahnya mencapai 150 juta unit menurut data Korlantas Polri pada 4 Oktober 2022.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan penggunaan kendaraan listrik bisa bermanfaat besar bagi lingkungan dan masyarakat. (Antara/HO Kemenperin)

Padahal, penggunaan kendaraan listrik bisa bermanfaat besar bagi lingkungan dan masyarakat. Manfaat pertama, Indonesia bisa menjadi produsen baterai kendaraan listrik.

“Kita punya cadangan nikel terbesar di dunia. Nikel inilah yang menjadi salah satu bahan baku baterai,” kata Agus.

Kedua, peningkatan kendaraan listrik dapat membantu negara secara fiskal karena akan mengurangi subsidi bahan bakar fosil. Ketiga, insentif tersebut akan memaksa produsen mobil/motor listrik mempercepat realisasi investasi di Indonesia.

“Yang keempat, sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia dapat membuktikan komitmen dalam mengurangi emisi karbon,” imbuhnya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun meyakini perkembangan industri kendaraan listrik dapat membuka lapangan pekerjaan, dan mendongkrak pendapatan dari pajak ataupun non pajak.

"Kalau berkembang, pajak pasti meningkat, PNBP pasti bertambah dan yang paling penting akan membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya karena ini akan mendorong industri pendukung lainnya," ucap Jokowi dalam keterangan pers di Istana Merdeka pada 21 Desember.

Lagipula, tambah Presiden, bukan hanya Indonesia, negara-negara lain, terutama negara Eropa sudah banyak yang mempopulerkan kendaraan listrik dengan cara serupa, yakni lewat pemberian insentif.

“Kita harus lihat ya bahwa sekarang hampir semua negara sudah melakukan," imbuh Jokowi.

Kendaraan Listrik di Eropa

Negara-negara Uni Eropa, bahkan sampai memasang target mengurangi emisi karbondioksida dari mobil biasa sebesar 55 persen dan jenis van sebesar 50 persen pada 2030. Selain menyempurnakan sistem angkutan massal agar masyarakat beralih dari penggunaan kendaraan pribadi, pemerintah di negara-negara Uni Eropa juga terus menggenjot penjualan kendaraan listrik.

Mereka menyadari sektor transportasi adalah salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Itu sebabnya, mengurangi emisi transportasi menjadi kunci memenuhi tujuan netralitas iklim di Uni Eropa.

Melansir European Environment Agency, pasar mobil listrik, yang meliputi kendaraan listrik baterai (BEV) dan kendaraan listrik hibrida plug-in (PHEV) di negara-negara Uni Eropa kian meningkat dalam satu dekade terakhir, dari hanya 600 unit pada tahun 2010 menjadi sekitar 1.061.000 unit pada 2020,

Begitupun pada 2021, pendaftaran mobil listrik melonjak, terhitung hampir 18 persen dari mobil penumpang yang baru didaftarkan. Hampir 38 ribu unit van listrik jenis BEV yang terjual. Meningkat 1 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan mobil listrik PHEV meningkat 7 persen dari tahun sebelumnya.

Karyawan mengganti baterai sepeda motor listrik di Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU), Gedung Direktorat Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM), Jakarta. (Antara/Aditya Pradana Putra)

Peningkatan tersebut terjadi hampir di seluruh negara Uni Eropa, tertinggi adalah Norwegia, Islandia, Swedia, dan Denmark.

“Negara-negara terkemuka dalam mobilitas listrik selalu memberikan insentif keuangan, seperti pengurangan pajak dan pengecualian untuk kendaraan listrik, sehingga masyarakat akan lebih tertarik beralih ke penggunaan mobil listrik,” tulis European Environment Agency.

Semisal Norwegia, menerapkan pembebasan pajak pembelian mobil listrik tipe BEV senilai 10.700 dolar AS pada 2021 menurut laporan Electric Vehicle Incentives. Namun, saat ini, Pemerintah Norwegia telah berencana mencabut sebagian insentif pengecualian pajak pertambahan nilai atas penyerahan mobil listrik.

Rencananya, insentif pengecualian PPN akan digantikan dengan subsidi. Pencabutan insentif PPN dan pemberian subsidi sebagai substitusi rencananya akan berlaku pada 1 Januari 2023, hanya untuk mobil listrik dengan harga di atas 500.000 Krona Norwegia.

"Dukungan tetap diberikan atas mobil listrik berharga murah. Makin mahal harga mobil listrik, makin tinggi PPN yang harus dibayar," ujar Menteri Keuangan Norwegia, Trygve Slagsvold Vedum pada Mei lalu.

Belum Familiar

Di Indonesia, minat masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik terbilang rendah. Masih banyak yang belum familiar. Mereka masih meragukan, apakah mengendarai kendaraan listrik lebih nyaman daripada mengendarai kendaraan konvensional?

Ada sejumlah hal yang masih mengganjal, terutama soal baterai. Melansir dari berbagai sumber, lazimnya, satu baterai sepeda motor listrik saat ini bisa menjangkau jarak sekitar 50-120 kilometer. Kecepatan tertinggi rata-rata mencapai 70 km/jam.

Sedangkan untuk mobil listrik dapat menempuh jarak 200-400 km untuk sekali pengisian baterai. Kecepatan menyerupai mobil konvensional.

Sementara, untuk pengisian daya, waktu yang dibutuhkan tergantung dari kapasitas baterai, rata-rata memerlukan waktu dua hingga 12 jam. Namun, pengisian baterai juga bisa menggunakan mode tukar baterai, tidak perlu menunggu. Sedangkan untuk usia baterai tergantung pemakaian, bisa 3-5 tahun.

Selain baterai, ganjalan lainnya adalah soal ketersediaan stasiun pengisian listrik. Hingga saat ini, menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, telah terdapat 332 unit charging station di 279 lokasi publik dan 369 unit battery swap station tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Indonesia perlu memperbanyak jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) agar program pemassalan kendaraan listrik lebih cepat terlaksana. (Antara/PLN)

Yang menjadi pertanyaan, apakah unit-unit tersebut sudah tersebar merata di setiap 100 kilometer. Sehingga, bila sepeda motor listrik kehabisan baterai dapat lebih mudah charge atau swap.

Bila hal itu bisa teratasi, kendaraan listrik tentu akan semakin populer di Indonesia. Apalagi biaya pengisian daya hanya sekitar Rp1.650 per kWh sampai dengan Rp2.466,7 per kWh. 

Adapun soal harga produk, seiring semakin banyaknya pabrik otomotif yang meluncurkan kendaraan listrik, harga semakin kompetitif. Untuk mobil listrik, termurah dari Rp238 juta (OTR Jakarta) untuk produk Wuling jenis Air EV Standard Range, hingga termahal Rp2,5 miliar (Off The Road) untuk produk Mustang jenis Mach-E dan Porsche jenis Taycan S Turbo.

Sedangkan untuk motor listrik, harga berkisar dari Rp15,7 juta hingga Rp38 jutaan.