Refleksi Kasus Umbaran Wibowo: Jangan Heran Bila Media Massa Rentan Disusupi Intel
Polisi yang menyamar sebagai wartawan, Umbaran Wibowo (kedua dari kanan) usai dilantik menjadi Kapolsek Kradenan di wilayah Polres Blora, Jawa Tengah. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Umbaran Wibowo mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Selama 14 tahun dia sukses menyamar sebagai jurnalis TVRI. Bahkan, sudah memiliki sertifikasi Uji Kompetensi Wartawan (UKW) tingkat madya dari Dewan Pers dan terdaftar sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Blora.

Pada 2021, ketika masa penugasannya telah selesai, jatidiri Umbaran mulai terungkap. Tepatnya, saat ditunjuk sebagai Kanit Intel Polres Blora. Ternyata, dia adalah seorang intel polisi berpangkat Inspektur Satu.

Namanya kian populer saat dilantik menjadi Kapolsek Kradenan, Blora pada 12 Desember 2022.

Umbaran Wibowo tak menampik pernah aktif sebagai jurnalis. Menurutnya, “Itu adalah bagian dari pelaksaan tugas dan perintah pimpinan.”

Ketua Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Indonesia Sasmito memprotes keras. Dia menganggap apa yang dilakukan Umbaran bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pers Indonesia. Menyalahi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Iptu Umbaran Wibowo menyamar menjadi wartawan TV selama 14 tahun (Era.id)

“Kepolisian jelas telah menempuh cara-cara kotor dan tidak memperhatikan kepentingan umum dan mengabaikan hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang tepat, akurat dan benar," kata Sasmito dalam keterangan resminya pada 15 Desember 2022.

Namun, di sisi lain, media massa memang tempat yang cocok untuk penyusupan intelijen, baik dalam rangka pendidikan ataupun tugas operasi rahasia. Sebab, menurut Irawan Sukarno dalam buku Aku Tiada Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen, ada banyak persamaan antara nuansa dunia pers dan dunia intelijen, meskipun banyak pula perbedaannya.

Antara organisasi intelijen dengan media massa banyak kualitas yang serupa. Semisal kegiatan mengamati, mengumpulkan informasi, melaporkan, dan menganalisis.

Lalu, memiliki koresponden di sejumlah wilayah, memiliki home staff, mengandalkan kecepatan, penentuan deadline, menghadapi ragam informasi yang masuk setiap hari, memiliki tanggung jawab atas lengkap dan akuratnya informasi, dan kemampuan membentuk opini masyarakat.

“Wartawan dan intelijen sama-sama tidak mengenal perbatasan. Dalam mencari informasi, wartawan dan intelijen sangat agresif, mereka tidak apel di kantor tetapi apel di sasaran supaya bisa mendapatkan informasi dari tangan pertama,” kata Irawan.

Terlebih, dalam kondisi perang. Seorang intelijen menggunakan agen-agennya menyamar menjadi wartawan bukan lagi rahasia. Tengok kisah agen rahasia Uni Soviet pada Perang Dunia ke-2 bernama Richard Sorge yang ditugasi memata-matai Jepang.

Sorge menggunakan cover job sebagai wartawan dari koran Jerman dan bisa menjalin hubungan dengan penentu kebijakan Jepang. Sorge berhasil mengirimkan berbagai informasi yang signifikan. Misal, Jepang tidak akan menyerang Uni Soviet, Jepang akan bergerak menyerang Amerika Serikat di Pearl Harbor, dan menyerang ke Asia Tenggara.

“Intelijen dasar dari Sorge menjadi dasar pembuatan keputusan strategis dari penentu kebijakan Uni Soviet untuk menggerakkan divisi-divisi tempurnya dari front timur ke barat dalam menghadapi Jerman,” Irawan mengisahkan.

Ilustrasi - Kegiatan intelijen tidak akan dapat berjalan baik tanpa ada jaringan. (Twitter)

Lalu kisah Daria Aslamova, koresponden khusus untuk harian Rusia Komsomolskaya Pravda, surat kabar yang dikenal pro-Kremlin. Aslamova juga bekerja sebagai koresponden perang di Ukraina untuk saluran Tsagrad yang menyebarkan propaganda Rusia.

Menteri Dalam Negeri Kosovo, Xhelal Svecla menyebut Aslamova sebagai mata-mata.

"Banyak negara telah membuktikan bahwa dia terlibat dalam spionase untuk intelijen militer Rusia dan dia berpura-pura menjadi jurnalis," kata Svecla dalam pernyataan pers pada 7 Agustus lalu dilansir dari Reuters.

Jika pada zaman Jenderal Sun Tzu, intelijen itu untuk memenangkan perang militer, maka zaman sekarang spektrum dari peperangan sudah sangat luas, seperti perang melawan terorisme, perang politik, perang ekonomi, perang iklan, perang budaya, perang teknologi, perang sosial, perang informasi, perang persepsi, dan perang ideologi.

“Namun, doktrinnya tetap sama. Jika ingin menang perang diperlukan intelijen yang kuat. Filosofi intelijen itu untuk to win the war. Di belakang hari mungkin untuk to prevent the war, dan di masa datang mungkin untuk to win the peace,” tulis Irawan dalam buku tersebut.

Doktrin tersebut berlaku untuk semua badan intelijen, termasuk Baintelkam Polri.

Jaringan Intelijen

Kegiatan intelijen tidak akan dapat berjalan baik tanpa ada jaringan yang meliputi semua personel yang terstruktur dalam organ, baik yang berstatus Polri aktif maupun sipil yang telah direkrut.

Menurut Dr. Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, merekalah yang menjalankan peran untuk mengawali, mengiringi, dan mengakhiri setiap peristiwa dalam rangka memberi masukan informasi dan analisis bagi para pengambil kebijakan.

Nilai informasi Intelkam, sama dengan nilai keputusan yang berkualitas bagi pimpinan Polri. Semua harus dikualifikasikan sesuai tingkat akurasi. Itulah mengapa muncul kode-kode informasi, seperti A-1, B-2, C-3, dan sebagainya.

A berarti sumbernya akurat atau dapat dipercaya dan angka 1 berarti nilai keterangan dapat diyakini benar. B-2 berarti sumber dapat dipercaya, tetapi tidak seperti A. Angka 2 nilai keterangan perlu ditambah dengan penjelasan pendukung.

Ada banyak persamaan antara nuansa dunia pers dan dunia intelijen. Sama-sama mengumpulkan informasi. (ANTARA/Shutterstock/pri)

Lalu C berarti sumber kurang dapat dipercaya sedangkan angka 3 nilai keterangan perlu dikuatkan dengan keterangan pendukung lain.

“Selain perihal akurasi informasi, indikator lainnya adalah terjawabnya rumus 5W+1H (What, Who, Where, When, Why, dan How). Sebagai pertanyaan informasi,” kata Susaningtyas dalam buku Komunikasi Dalam Kinerja Intelijen Keamanan.

Indikator tersebut serupa dengan yang diterapkan dalam ilmu jurnalistik. Sehingga, tak heran bila banyak intelijen menyamar menjadi wartawan.

Saat menanggapi sosok Umbaran Wibowo, Menko Polhukam Mahfud MD pun mengingatkan, “Intelijen mempunyai kewenganan-kewenangan tertentu.”