BUMN China Kesulitan Bayar Utang, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China dilaporkan mulai kesulitan dan gagal membayar obligasi senilai 40 miliar yuan atau 6,1 miliar dolar AS. Angka tersebut setara Rp564 triliun (kurs Rp14.100). Gagal bayar terjadi antara Januari dan Oktober 2020.

Permasalahan utang perusahaan pelat merah Negeri Tirai Bambu ini tidak hanya akan menjadi gejolak bagi sistem keuangan yang dapat menghancurkan ekonomi negara. Tetapi, juga berpotensi memperlambat upaya pemulihan mereka dari dampak pandemi.

Masalah tersebut semakin pelik dalam beberapa pekan terakhir ini. Beberapa perusahaan besar yang bermitra dengan perusahaan internasional mulai mendaftarkan kebangkrutan dan gagal bayar utang bulan lalu. Di antaranya adalah Brilliance Auto Group yang bermitra dengan BMW, produsen chip ponsel pintar Tsinghua Unigroup, dan Yongcheng Coal and Electricity.

Kejadian ini sontak membuat pasar utang China terguncang hingga mengakibatkan harga obligasi anjlok dan suku bunga melonjak. Gejolak bahkan meluas ke pasar saham. Harga saham BUMN China pun babak belur.

Kondisi ini membuat investor mulai khawatir. Apalagi jika Pemerintah China tidak lagi bisa membantu para perusahaan ini untuk bertahan. Sehingga posisinya semakin rentan setelah gagal bayar utang.

BUMN China ini punya peran penting dalam sistem keuangan Negeri Tirai Bambu. Selain menyumbang sepertiga PDB China, perusahaan pelat merah China ini menguasai setengah dari total kredit yang beredar di China.

Berdasarkan data People's Bank of China dan Huachuang Securities, 90 persen surat utang pemerintah China juga dipegang oleh perusahaan pelat merah tersebut.

Tidak berdampak bagi ekonomi Indonesia

Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance ( INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, keadaan yang dialami China saat ini tidak akan berdampak langsung bagi ekonomi Indonesia.

"Tidak langsung ke kita. Putaran pertama adalah seberapa besar sumbangan BUMN China terhadap perekonomian negaranya. Kalau di kita kan kecil sumbangan BUMN-nya berapa sih nilainya, kalah dengan perusahaan rokok. Kalau di China kita enggak tahu berapa besar sumbangannya," kata Tauhid, ketika dihubungi VOI.

Menurut Tauhid, perekonomian China saat ini trennya positif. Bahkan sampai tahun depan diprediksi tumbuh 8,1 sampai 8,8 persen. Jika kondisi ekonomi China membaik, ekspor Indonesia juga akan membaik.

"Jadi kalau hanya satu dua kasus dampaknya belum langsung ke kita. Tapi kalau melihat keseluruhan ekonomi China baru berpengaruh ke kita atau tidak," tuturnya.

Tauhid mengatakan, yang dapat langsung memengaruhi ekonomi Indonesia yaitu ketika perekonomian China mengalami penurunan. Sebab, Indonesia merupakan eksportir ke China paling besar.

"Kalau yang bermasalah BUMN-nya harus dilihat seberapa besar sumbangannya terhadap perekonomian China, baru bisa diketahui dampaknya ke Indonesia. Tapi ketika yang mengalami masalah adalah perkonomian China, tentu ini akan langsung berdampak kepada kita," jelasnya.