JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon mengatakan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kini sedang menghadapi risiko gagal bayar yang serius seiring peningkatan utang luar negeri.
“Saya khawatir, kita sedang menghadapi kondisi yang sama saat ini. Salah satunya adalah terkait krisis utang dan risiko gagal bayar BUMN kita," kata Fadli dikutip dari dpr.go.id, Jumat 10 Juli.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), dalam lima tahun terakhir total utang luar negeri seluruh BUMN terus mengalami kenaikan. Hingga April 2020, nilai utang luar negeri BUMN mencapai 55,3 miliar dollar AS, atau setara Rp775 triliun (kurs Rp14 ribu). Padahal, pada 2014, total utang BUMN masih ada di angka 30,7 miliar dollar AS.
Menurut dia, pandemi COVID-19 membuat kondisi tadi jadi lebih buruk, pendapatan hampir seluruh BUMN pasti tergerus, sementara jumlah utang jatuh tempo jumlahnya tak sedikit. Sebagai catatan, antara Mei hingga Desember 2020, ada 13 BUMN yang memiliki obligasi jatuh tempo.
Dari catatan itu, yang paling besar nilainya adalah Bank Tabungan Negara (BTN), yaitu Rp 5,4 triliun, disusul Pupuk Indonesia, senilai Rp4,1 triliun. Kalau BUMN menghadapi risiko gagal bayar, pemulihan ekonomi Indonesia akan kian sulit.
“Kasus paling mencolok adalah Garuda Indonesia. Pada 3 Juni lalu mereka seharusnya membayar utang sukuk global 500 juta dollar AS, namun terpaksa harus merestrukturisasinya. COVID-19 telah membuat Garuda harus memarkir 70 persen armadanya, padahal pemasukan dari penumpang berkontribusi 80 persen terhadap pendapatan perusahaan. Bayangkan, bagaimana berdarah-darahnya perusahaan tersebut saat ini?” kata dia.
Politisi Partai Gerindra itu melihat hal serupa juga terjadi pada BUMN karya, yang pertumbuhan utangnya jauh lebih besar dari labanya. Adhi Karya misalnya, tahun 2019 lalu pertumbuhan utangnya mencapai 20 persen, sementara labanya hanya naik 3,1 persen. Artinya, kenaikan utang tersebut tidak seimbang dengan pertumbuhan laba perseroan.
Tak heran jika kemudian BUMN terpaksa harus menjual aset untuk menutupi utang. Waskita Karya misalnya, yang memiliki utang mencapai Rp 89 triliun, akan melepas empat ruas jalan tahun ini, yaitu Tol Becakayu, Tol Kanci-Pejagan, dan Tol Pejagan-Pemalang. Sedangkan satu lagi, Tol Cibitung-Tanjung Priok, akan dijual dengan mengurangi kepemilikan saham dari mayoritas menjadi minoritas.
"Semua itu, sekali lagi, akibat kesalahan tata kelola utang Pemerintah dalam lima tahun terakhir. Sebagaimana saya ingatkan sejak lima tahun lalu, pembangunan infrastruktur yang dilakukan saat negara tak punya duit sangat berbahaya. Dulu Orde Baru membangun infrastruktur saat kita sedang menikmati rejeki nomplok “Oil Boom”. Begitu juga di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pembangunan infrastruktur dilakukan saat Pemerintah menikmati ‘booming’ harga komoditas," jelas Fadli.
"Nah, Presiden Joko Widodo ingin membangun berbagai infrastruktur fisik, yang sebagian besarnya berupa infrastruktur konsumtif seperti jalan tol dan bandara, saat negara tak punya pemasukan. Akhirnya, BUMN kita yang dijadikan korbannya. Mereka dipaksa untuk membangun dengan jalan mencari utangan," sambung legislator dapil Jawa Barat V itu.
Menurut Fadli, fakta ini juga dicatat oleh Bank Dunia. Dalam laporan “Infrastructure Sector Assessment Program” (2018), Bank Dunia menilai pemicu terjadinya peningkatan utang BUMN adalah pengerjaan proyek-proyek Pemerintah. Mereka dipaksa untuk mengerjakan proyek Pemerintah yang tidak punya uang. Karena BUMN juga kekurangan dana, akhirnya BUMN terpaksa berutang.