Menimbang Perlu Tidaknya Pemangkasan Jatah Cuti Bersama di Akhir Tahun
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya untuk memangkas jatah cuti bersama di penghujung tahun guna mencegah terjadinya peningkatan kasus COVID-19. 

Permintaan Jokowi terkait pemangkasan jatah cuti bersama ini disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy usai mengikuti rapat terbatas terkait penanganan COVID-19 di Istana Negara, Jakarta. Dalam rapat ini, kata Muhadjir, Jokowi meminta agar cuti bersama akhir tahun dan cuti pengganti Idulfitri dipangkas. 

Selain itu, eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ini mengatakan, Jokowi juga meminta Kemenko PMK menggelar rapat koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk menetapkan tanggal pengurangan masa cuti bersama di akhir tahun.

Adanya permintaan pemangkasan jatah cuti bersama ini lantas diapresiasi oleh epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman. Kata dia, keinginan ini sudah tepat apalagi klaster liburan kerap terjadi jika ada libur panjang yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berlibur.

"Jadi pemangkasan libur panjang ini sudah tepat. Dalam hal libur panjang ini, bahwa mau dikurangi dalam artian kalau Natal ya hanya Natal, mau sehari sebelum atau setelahnya tapi tidak keluar dari daerah. Ataupun Tahun Baru. Karena ini kan belajar dari kejadian libur panjang sebelumnya," kata Dicky saat dihubungi VOI, Selasa, 24 November. 

Dia memaparkan, momen libur panjang di bulan sebelumnya, terbukti memberikan dampak terhadap peningkatan kasus COVID-19 di Tanah Air. Hal ini didasari karena terjadinya gerakan ataupun mobilisasi massa dari satu tempat ke tempat lain dan interaksi manusia dengan intensitas tinggi.

Namun, Dicky mengingatkan, pemerintah sebenarnya tak cukup hanya memangkas jatah cuti bersama di akhir tahun ini. Pemerintah, sambung dia, harus melarang segala bentuk kegiatan yang menimbulkan kerumunan massa di tengah pandemi COVID-19 termasuk kegiatan Pilkada 2020.

"Jadi bukan hanya libur panjang akhir tahun, setiap jenis kegiatan yang mengakibatkan terjadinya mobilisasi massa, pergerakan massa, interaksi massa yang terus menerus terjadi itu akan sangat berisiko dalam perburukan penyebaran COVID-19. Di antaranya ya tentu termasuk demo, keramaian massa, termasuk pilkada," tegasnya.

"Sehingga ini tidak bisa, oh ini libur panjang dibatasi, yang ini enggak apa-apa deh. Tidak bisa, karena virus ini melihatnya mana yang bisa dan mudah mereka jangkiti," imbuhnya. 

Selain itu, Dicky juga menyinggung kondisi pengendalian pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini masih jauh dari kata aman. Apalagi jika melihat positivity rate COVID-19 di Tanah Air masih berada di angka belasan persen, sementara standar World Health Organization (WHO) angka ini harusnya berada di bawah lima persen.

"Kemudian angka kematian di Indonesia kan juga tinggi saat ini. Serta belum ada penurunan kasus signifikan dalam dua pekan berturut. Sehingga semuanya ini akan sangat memberikan iklim yang mendukung terhadap penyebaran COVID-19," ungkapnya.

Buruh tak sepakat

Pemangkasan jatah cuti bersama ini juga menjadi sorotan bagi kelompok buruh. Meski menyebut keputusan pengurangan cuti ini akan lebih dulu dicermati, namun Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Azis menegaskan para buruh memiliki hak terhadap cuti. 

"Cuti tidak boleh dikurangi karena ini adalah hak pekerja," kata Riden saat dihubungi.

Lagipula, dia menilai, COVID-19 yang saat ini terjadi sudah ada prosedur penanganan dan pencegahannya. Hanya saja, karena pemerintah selalu mengkhawatirkan masalah ekonomi sehingga terkesan penanganan COVID-19 seperti tidak ada kemajuan dan membuat masyarakat bingung.

"Jadi COVID-19 belum selesai tapi ekonominya tidak juga lebih baik," tegasnya.

Pengusaha hotel dan restoran bersiap gigit jari

Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, pemangkasan libur di akhir tahun ini tentu akan berdampak kepada restoran dan hotel pada khususnya. Apalagi, libur akhir tahun menjadi satu dari tiga momentum yang bisa dimanfaatkan untuk meraup omset, selain libur lebaran dan kenaikan kelas yang sudah lewat di awal tahun.

"Jadi jumlah terbesar ini kan ada tiga dari point of view hotel, yaitu lebaran yang merupakan pergerakan terbesar, libur sekolah, dan natal tahun baru. Kalau libur lain memang ada pergerakan tapi yang terbesar itu di tiga itu," kata Yusran.

Sehingga dengan kondisi yang ada, libur panjang di akhir tahun ini menjadi salah satu harapan bagi para pelaku usaha khususnya hotel dan restoran untuk bertahan di tengah masa pandemi. 

"Makanya kalau ditanya, itu gimana dengan adanya kebijakan seperti itu, ya kecewa pasti kecewa kita karena masalahnya itu kalau bagi kami pelaku usaha itu adalah harapan. Setiap liburan jadi harapan bahwa akan terjadi peningkatan," imbuhnya.

Yusran menilai, pengurangan cuti semacam ini juga kurang tepat untuk dilakukan. Menurutnya, pemerintah harusnya mencari akal agar dapat mengawasi masyarakat yang memang ingin berlibur. Apalagi, selama ini sektor pariwisata terutama restoran dan hotel telah mengikuti aturan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19. 

Apalagi, saat ini banyak pelaku usaha hotel dan restoran yang terdampak dan membuat banyak karyawan di sektor ini terpaksa kehilangan pekerjaan mereka. 

"Pemerintah harusnya melakukan fungsi pengawasan di tengah masyarakat. Karena siapa yang melakukan pengawasan di tengah masyarakat? Pemerintah. Apalagi kita sudah sepakat pandemi ini kapan berakhirnya kita enggak tahu, jadi yang paling penting adalah perubahan perilaku. Ini yang harusnya jadi acuan kita bersama penerapan 3M (menjaga jarak, menggunakan masker, dan mencuci tangan) menjadi penting. Jadi semua kegiatan harus berpedoman ke sana," ungkapnya.

"Jadi setiap ada momentum liburan, itu dijadikan trial bagaimana ini bisa berjalan. Ini kan sudah ada beberapa kali liburan harusnya bisa dipelajari dimana yang jadi masalah, bagaimana cara membatasinya supaya enggak overload. Harusnya itu yang dipikirkan karena kita yang di sektor pariwisata ini jadi yang terdampak tiap ada kenaikan COVID-19," pungkasnya.