JAKARTA - Isu sejumlah anggota Polri menjadi beking bisnis judi muncul bersamaan dengan upaya Polri mengungkap kasus pembunuhan polisi oleh polisi yang melibatkan Mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Isu semakin gencar ketika bagan konsorsium 303 beredar di media sosial.
Bagan menampilkan sederet nama perwira polisi yang mengorganisir setoran bisnis judi dengan Irjen Ferdy Sambo di puncak pimpinan. Bahkan, tak hanya satu bagan, beredar pula bagan serupa yang menampilkan Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto di puncak pimpinan.
Tak ingin isu tersebut semakin liar, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo langsung mengambil sikap tegas. Dia memerintahkan jajarannya memberantas segala bentuk perjudian, baik online maupun judi darat. Kapolri bahkan tak segan mencopot pejabat Polri yang terbukti terlibat.
"Saya tidak memberikan toleransi kalau masih ada kedapatan, pejabatnya saya copot, saya tidak peduli apakah itu kapolres, apakah itu direktur, apakah itu kapolda, saya copot. Demikian juga di Mabes, tolong untuk diperhatikan, akan saya copot juga," tegas Jenderal Sigit dalam arahan kepada jajarannya pada 18 Agustus 2022.
"Sekali lagi saya tanya kepada rekan-rekan, yang tidak sanggup, angkat tangan. Baik, kalau tidak ada, berarti kalian semua, rekan-rekan semua, masih cinta institusi dan saya minta kembalikan kepercayaan masyarakat kepada kita, kepada institusi, sesegera mungkin," Kapolri kembali menegaskan.
Ketika menjawab pertanyaan sejumlah anggota Komisi III DPR RI dalam rapat dengar pendapat pada 24 Agustus 2022, Jenderal Sigit pun terus menunjukkan komitmennya.
“Saya minta tidak ada lagi yang namanya judi, apakah itu judi online, apakah itu judi darat yang masih berkegiatan. Bila nanti saya masih dapati, pejabatnya pasti saya copot. Ini komitmen saya. Di zaman saya, judi tidak ada,” ucapnya.
Sekadar Langkah Reaktif
Namun, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai pemberantasan perjudian yang gencar dilakukan oleh kepolisian saat ini hanya sikap reaktif. Masa hanya dalam waktu tidak lebih dari satu hari setelah Kapolri memerintahkan pemberantasan, banyak tempat judi online maupun darat yang digerebek.
Artinya, polisi memang sudah mengetahui keberadaan aktivitas-aktivitas perjudian sebelumnya, tetapi tidak ditindak sebelum ada perintah. Ini menyiratkan kemungkinan main mata antara pelaku bisnis judi online dengan oknum polisi dalam bentuk uang perlindungan.
“Kejahatan terjadi di depan mata, tetapi tidak ditindak. Malah tunggu perintah dahulu baru ditindak,” kata Sugeng kepada VOI, Jumat (2/9).
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto berpendapat sama. Dia pun menilai operasi-operasi pemberantasan judi hanya respon sesaat. Sampai saat ini saja operasi belum menyentuh nama-nama yang diduga bandar, nama yang terdapat di bagan konsorsium 303.
Lagipula, bagaimana bisa memberantas perjudian. Judi sama seperti prostitusi, masalah yang sudah muncul sejak lama dan tak pernah bisa dihilangkan.
“Makanya konsep pemberantasan judi yang diinginkan itu seperti apa? Redefinisi perjudian yang masuk pada ranah pidana sepertinya juga harus dipikirkan ulang. Tebak skor antar teman juga bisa disebut judi atau taruhan, tetapi apakah perlu dipidana?” katanya kepada VOI, Jumat (2/9).
Bila pemberantasan judi hanya sekadar menyentuh permukaan, pada akhirnya justru akan memunculkan perilaku koruptif dengan adanya beking-beking aparat atau dijadikan modus money loundry.
Sehingga, Bambang berpendapat, “Legalisasi dan lokalisasi perjudian seperti di era Ali Sadikin sepertinya laik dipikirkan.”
Lihat laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), aliran dana yang terindikasi judi online nilainya cukup fantastis dan mengalir ke berbagai negara, seperti Thailand, Filipina, dan Kamboja. Juga diduga mengalir ke negara-negara suaka pajak.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana tak menampik, para penyedia judi online memang semakin bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Mereka melihat Indonesia sebagai pasar potensial untuk bisnis judi, peminatnya sangat besar.
Di sisi lain, mereka pun sangat piawai menghilangkan jejak, berubah bentuk jika operasinya terdeteksi penegak hukum.
“Mereka kerap melakukan pergantian situs judi online baru. Berganti rekening, bahkan menyatukan hasil judi online tersebut dengan bisnis yang sah,” kata Ivan Yustiavandana dalam siaran pers pada 22 Agustus 2022.
Itu sebabnya, Bambang menilai bila ingin melakukan pemberantasan judi mekanisme dan perangkat pengawasannya juga harus lebih canggih.
“Zaman sudah berubah. Tehnik perjudian tentunya juga berubah. Maka perangkat pengawasannya juga harus lebih canggih. Cybercrime, PPATK maupun satgas di Kemenkominfo harusnya melakukan prevention terkait ini,” Bambang menandaskan
Sudah Menjamur Sejak Era Kolonial
Di Indonesia, aktivitas perjudian sudah tumbuh sejak era kolonial. Dulu, kata Zeffry Alkatiri dalam bukunya Pasar Gambir, Komik Cina, & Es Shanghai: Sisik Melik Jakarta 1970-an, masyarakat Batavia gemar bermain capjiki, permainan memilih satu dari 12 gambar yang tertera di warung penyedia permainan. Selain capjiki, ada juga permainan judi serupa yang dikenal dengan sebutan sikia.
Bahkan, karena animo masyarakat terhadap perjudian cukup besar, pemerintah Hindia Belanda sampai mengizinkan Kapitan China membuka sejumlah tempat judi, tentu dengan setoran pajak.
Bersamaan itu, mulai maraklah ragam permainan-permainan judi lainnya.
“Kala itu, ada dua jenis judi di kalangan masyarakat etnis Tionghoa Batavia, judi kartu dan judi dadu atau Po. Lalu, pada abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda mengenalkan judi lotere,” merangkum tulisan Zeffry Alkatiri.
Pasca kemerdekaan, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sempat melegalkan bisnis perjudian. Meski sarat kontroversi, terutama dengan kalangan agamis, konsep Ali Sadikin untuk mengeruk pajak dari bisnis perjudian tetap berjalan.
Ini dilakukan semata hanya untuk membangun Jakarta. Sebab, kondisi kas Jakarta ketika dia baru menjabat Gubernur pada 1966 sangat kecil, hanya Rp65 juta.
"Saya berani. Untuk keperluan rakyat Jakarta, saya berani," jawab Ali Sadikin, seperti yang tertulis dalam buku Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi.
Melansir Kompas.com, Tahun 1970-an akhir, Pemda DKI mengizinkan rumah judi untuk permainan kasino, bingo, jackpot, dan pacinko dari Las Vegas. Tempat-tempat judi itu bermunculan di sepanjang Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk.
Melihat keuntungan yang bisa diraup, pemerintah pusat ikut membuat judi legal, seperti porkas, undian harapan, dan sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB).
Menurut Ali Sadikin, “Lebih baik disahkan daripada dibiarkan liar dan tidak menghasilkan apa-apa untuk pemerintah, untuk rakyat.”
Setelah Ali Sadikin lengser, kondisi berubah. Judi menjadi bisnis yang ilegal. Namun, realitasnya, bisnis perjudian tetap hidup secara sembunyi-sembunyi.
Serupa pada era digital saat ini. Bisnis perjudian online kian berkembang masif. Ingin judi togel tak perlu lagi menunggu kurir untuk pasang nomor. Ingin main domino atau qiuqiu tak perlu lagi harus menunggu teman. Ingin bermain slot tidak perlu lagi ke Makau, semua sudah ada dalam bentuk online. Tinggal deposit, penjudi bisa bermain kapan pun dan dimana pun.
BACA JUGA:
Apolonius Anas dalam tulisannya bertajuk ‘Judi, Jebakan Ilusi Probabilitas, dan Pesan Lagu Rhoma Irama’ di Media Indonesia menyebut judi adalah racun kehidupan yang sudah marangsek masuk ke wilayah iman. Sebagian umat sudah terjebak dengan pembenaran tentang judi secara komunal.
“Menang dalam berjudi adalah kekalahan yang tertunda. Sebenarnya kalaupun menang itu adalah awal dari kekalahan. Adalah bohong seseorang bisa kaya mendadak hanya karena judi, tetapi sebenarnya awal dari kemiskinan yang brutal. Harta benda bisa ludes karena judi, hal itu sudah banyak terjadi dan menjadi dalil pembuktian. Siapa yang menang dalam berjudi? Jelas bandar,” tulis Anas.