JAKARTA - Sehabis perhelatan PON XX Papua 2021, Presiden Jokowi mengundang Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas. Presiden meminta PT Freeport turut aktif dalam mencetak talenta-talenta muda di bidang olahraga terutama sepak bola.
Sehingga, fasilitas olahraga yang sebelumnya sudah dibangun untuk penyelenggaraan PON tidak terbengkalai selepas ajang olahraga multievent tersebut.
"Fasilitas olahraga selepas PON harus tetap dirawat, harus tetap dijaga. Fasilitas ini kelasnya, standar internasional. Jadi harus dimanfaatkan, harus produktif," ujar Presiden saat peluncuran Papua Football Academy di Stadion Lukas Enembe, Sentani, Rabu (31/8), seperti dilansir dari laman resmi Sekretariat Presiden.
Menurut Jokowi, Papua telah banyak melahirkan atlet-atlet profesional. Tidak hanya di bidang sepak bola saja, tetapi juga di cabang atletik, dayung, dan lainnya. Wajar jika Papua ditetapkan sebagai provinsi olahraga.
Pencapaian tersebut harus terus ditingkatkan. Dengan adanya Papua Football Academy peluang semakin besar. Bukan tidak mungkin, muncul nama-nama baru sebagai pengganti legenda sepak bola Indonesia dari tanah Papua, seperti Rully Nere, Aples Tecuari, Alexander Pulalo, Ellie Aiboy, dan Boaz Salossa.
Papua Football Academy merupakan sekolah bagi putra Papua dengan rentang usia 14–15 tahun. Wadah untuk mengasah bakat dalam bidang olahraga khususnya sepak bola. Mereka masuk melalui serangkaian proses seleksi.
“Anak-anak digembleng kedisiplinan, digembleng latihan-latihan yang rutin, dan terus didampingi oleh coach yang memiliki reputasi yang baik hingga mereka bisa raih prestasi. Tadi Pak Dirut sudah menyampaikan ada 477 anak yang diseleksi dan sekarang hanya tinggal 30 anak. Ini adalah bibit-bibit, talenta-talenta yang diseleksi dengan baik, talenta-talenta yang berbakat,” ungkap Presiden.
Tak hanya sepak bola, para murid di Papua Football Academy juga tetap mendapatkan pendidikan formal di sekolah. Harapannya, mereka bisa menjadi pemain-pemain sepak bola yang memiliki jiwa percaya diri yang kuat, karakter yang kuat, yang kompetitif, yang sportif, tapi juga pandai dan pintar.
Presiden meyakini jika talenta-talenta muda mulai dibina sejak dini, maka mereka akan bisa berkembang sesuai jenjang usia, mulai dari U-14, U-16, hingga U-19. Bahkan, hingga ke level elit sepak bola Indonesia dan dunia.
“Tapi memang harus sejak dini tanpa meninggalkan yang namanya pendidikan sekolah. Ini yang penting juga. Saya kira coach yang mendampingi juga sangat baik, fasilitas untuk olahraganya, lapangannya, sudah lebih dari cukup sehingga kita hanya menunggu hasilnya. Saya yakin ada hasilnya,” ujar Jokowi optimistis.
Kompetisi Akar Rumput
Namun, jurnalis senior sekaligus pengamat olahraga, Yoseph Erwiyantoro pesimistis. Menurut dia, dalam upaya mencetak talenta-talenta muda berbakat hal prioritas bukan semata akademi, melainkan juga bagaimana pemerintah daerah maupun stakeholder mampu membuat kompetisi sepak bola akar rumput usia muda hingga berjenjang. Tanpa kompetisi tidak akan lahir bintang-bintang besar.
“Lihat pemain-pemain hebat kancah internasional, semua lahir dari kompetisi sejak usia muda. Kompetisi mengajarkan banyak hal mulai dari mental bertanding, pengalaman, fisik yang bagus. Percuma skill bagus, tanpa punya mental yang oke. Dua-duanya harus sejalan,” ucapnya kepada VOI, Rabu (31/8).
Toro, sapaan akrab Erwiyantoro pun mengakui, Papua memang telah melahirkan banyak pemain hebat. Namun, dengan adanya kompetisi, talenta-talenta yang muncul akan lebih hebat lagi.
“Belum ada kompetisi saja banyak pemain hebat, bagaimana kalau sudah ada kompetisi. Bibitnya tidak pernah habis, sayangnya mereka tidak digembleng dalam wadah kompetisi,” lanjut Toro.
Pendiri SSB Sukmajaya sekaligus pengamat sepak bola nasional, Supartono JW pun menilai bila ingin melahirkan pemain-pemain sepak bola yang memiliki jiwa percaya diri kuat, berkarakter, kompetitif, sportif, pandai dan pintar, PSSI harus menciptakan sistem yang baik pula.
“Bagaimana bisa menggelar rutin kompetisi akar rumput, bila Sekolah Sepak Bola (SSB) yang menjadi lembaga awal pembinaan sekaligus inisiator kompetisi tidak pernah dianggap?” ucap Supartono kepada VOI, Rabu (31/8).
Bahkan, hingga saat ini, keberadaannya masih terus dibiarkan salah kaprah. Tidak pernah ada pembakuan melalui regulasi dan kompetisi resmi atas nama SSB di bawah bendera PSSI.
Piala Soeratin dan Turnamen Elite Pro Academy (EPA) yang digelar tidak pernah menyertakan nama SSB sebagai pemilik dan pembina asli anak-anak. Piala Soeratin digelar tetapi atas nama klub, dan hanya dalam bentuk turnamen, bukan kompetisi.
“Begitupun EPA, atas nama klub, bahkan pemain asli binaan SSB yang bergabung atau direkrut oleh klub, regulasinya wajib meminta surat keluar dari SSB,” tuturnya.
Padahal, tengok keberhasilan Timnas Sepak Bola Indonesia U-16 meraih gelar Piala AFF U-16 2022, adalah kerja besar yang sudah dilakukan oleh pegiat sepak bola akar rumput Indonesia. Bukan kerja instan PSSI atau pemerintah.
Pelatih Timnas Sepak Bola Indonesia U-16 Bima Sakti saja mengakui itu. Lihat pernyataannya di media usai menjuarai AFF U-16 2022.
“Saya juga mengucapkan terima kasih, kafiatur, dan lain-lain. Ini dididik oleh akademi, SSB dan orang tua juga. Itu yang paling berjasa. Kalau saya sebagai pelatih timnas U-16 tinggal meneruskan saja. Tapi yang paling penting dan berjasa adalah orang tua yang mendidik mereka, kemudian pelatih-pelatih pertama mereka di SSB akademi,” ucap Bima Sakti kepada wartawan pada 12 Agustus 2022.
Pernyataan Bima Sakti menjadi penegasan bahwa peran Sekolah Sepak Bola sangat vital dalam mencetak talenta-talenta muda berbakat.
“Namun, SSB tidak pernah dianggap, bahkan seolah terus dijadikan sapi perah dan tempat mengambil keuntungan, tidak dihargai,” Supartono menandaskan.