Bagikan:

JAKARTA - Kabar kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar per 1 September 2022 yang santer berhembus dalam satu pekan terakhir ternyata tidak terbukti. Yang terjadi justru penurunan harga sejumlah komoditi Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi.

Padahal, belum genap satu bulan, harga BBM nonsubsidi dinaikkan. Pada 3 Agustus 2022, Pertamina menetapkan harga Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex di Jakarta menjadi:

  • Pertamax Turbo Rp17.900/liter

    Naik Rp1.700 dari sebelumnya Rp16.200/liter

  • Dexlite Rp17.800/liter

    Naik Rp2.800 dari sebelumnya Rp15.000/liter

  • Pertamina Dex Rp18.900

    Naik Rp2.400 dari sebelumnya Rp16.500/liter

Per 1 September 2022, harga kembali berubah:

  • Pertamax Turbo Rp15.900-Rp16.600/liter tergantung wilayah

    Turun Rp 2.000/liter

  • Dexlite Rp 17.100-Rp 17.800/liter tergantung wilayah

    Turun Rp 700/liter

  • Pertamina Dex Rp17.400-18.100/liter tergantung wilayah

    Turun Rp 1.500/liter.

“PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) Umum tersebut untuk mengimplementasikan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum,” tulis laman resmi Pertamina, Kamis (1/9).

Pemerintah masih mengkalkulasi secara cermat pemberlakuan kenaikan harga BBM Subsidi. (Antara/M Agung Rajasa)

Sementara, untuk kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar, pemerintah belum bisa memutuskan.

“BBM semuanya masih proses hitung-hitungan, dikalkulasi dengan hati-hati. Dihitung dengan kehati-hatian,” kata Presiden Jokowi kepada wartawan di sela kunjungan kerjanya ke Papua, Kamis (1/9).

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai harga BBM nonsubsidi memang cenderung fluktuatif mengikuti harga minyak mentah dunia. Sehingga, wajar bila mengalami kenaikan atau penurunan dalam jangka waktu dekat.

Kendati begitu, Bhima berharap harga tersebut bisa lebih turun lagi. Sehingga, disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi tidak terlalu lebar.

“Kalau disparitas harga terlalu lebar, pasti orang akan bergeser dari subsidi ke nonsubsidi. Itu yang bisa membuat kuota BBM tidak mencukupi atau cepat habis,” kata Bhima kepada VOI, Kamis (1/9).

Pertegas Mekanisme

Menurut Bhima, harga minyak mentah dunia saat ini sudah mulai menurun. Bahkan, banyak kalangan menilai penurunan akan berlanjut terus. Sehingga, ada baiknya, rencana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi ditunda. Sambil, pemerintah lebih mempertegas mekanisme kenaikannya.

“Kalau kemudian harga BBM subsidi naik, konsekuensinya apa? Bansosnya seperti apa? Komunikasi pemerintah belum clear. Sementara, kita tahu kondisi beban hidup masyarakat saat ini semakin berat, mulai dari pandemi, inflasi pangan yang sempat double digit hingga Juli 2022. Pada Agustus pun inflasi pangan masih di atas 8 persen,” papar Bhima.

Sementara, inflasi inti yang mencerminkan sisi permintaan masih kecil, masih sekitar 3 persen.

“Artinya, bila BBM benar dinaikkan, masyarakat pun melihat, kok tambahan bansosnya cuma Rp24 triliun, tak akan cukup. Justru, malah membuat angka inflasi bertambah besar,” tambahnya.

Mekanisme bansos yang tepat sasaran bisa mengantisipasi melonjaknya laju inflasi dampak dari kenaikan harga BBM Subsidi. (Antara/Arif Firmansyah)

Jadi, kata Bhima, harus ada ketegasan. Jangan semua menteri bicara ke publik soal kenaikan harga BBM subsidi. Cukup Menteri Energi atau Menteri Keuangan saja yang bicara. “Sekarang kan, Menteri Investasi bicara, Menko Marves bicara, ini yang membuat sengkarut. Masyarakat semakin khawatir.”

Lihat pom-pom bensin jelang tanggal 1 September 2022, hampir semua terjadi antrean. Seolah terjadi panic buying. Sebab, kabar terkait kenaikan pertalite dan solar pada 1 September sudah cukup santer.

“Bukan tidak mungkin juga, kondisi ini dimanfaatkan bisnis penimbunan. Bocornya ke sana bukan bocor ke pembeli yang tidak tepat sasaran atau orang mampu. Tapi bocor ke penimbun atau spekulan yang memanfaatkan situasi. Ini kan berat ke Pertamina, akhirnya berat juga ke APBN karena kebijakannya enggak clear,” tandasnya.

Gerus Konsumsi Rumah Tangga

Kepala Badan Pusat Statistik, Margo Yuwono meminta pemerintah berhati-hati dalam memutuskan kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar. Jangan sampai mengakibatkan inflasi melonjak tinggi hingga menggerus konsumsi rumah tangga.

"Pertumbuhan ekonomi kita 56 persennya disumbang dari konsumsi rumah tangga. Kalau inflasi tinggi kemudian menggerus konsumsi rumah tangga, dampak besarnya ke pertumbuhan ekonomi," katanya dalam Rapat Koordinasi Inflasi Daerah pada 30 Agustus 2022.

Tengok kenaikan harga BBM pada 2005, 2013, dan 2014. Pada Maret 2005, harga BBM bensin premiun naik 32,6 persen dan solar 27,3 persen. Lalu, pada Oktober tahun yang sama harga bensin kembali naik 87,5 persen dan solar 104,8 persen. Akibatnya, inflasi tembus ke level 17,11 persen ketika itu.

Lalu pada 2013, bensin naik 44,4 persen dan solar 22,2 persen. Laju inflasi hanya mencapai 8,38 persen

Begitupun pada November 2014, bensin naik 30,8 persen dan solar 36,4 persen. Namun, laju inflasi hanya 8,36 persen persen.

“Mengapa tahun 2013 dan 2014 inflasi bisa lebih rendah dibanding tahun 2005, karena kebijakan bansos sudah bagus sehingga dampak inflasi bisa ditekan," kata Margo.

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. (Pixabay)

Melansir dari Bank Indonesia, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

  1. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
  2. Inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
  3. Tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
  4. Pentingnya kestabilan harga kaitannya dengan referensi stabilitas sistem keuangan.​

“Kenaikan inflasi harus terus diwaspadai di masa mendatang. Terutama dengan adanya isu kenaikan harga BBM dan bahan bakar rumah tangga. Kenaikan harga BBM tentu ikut mengerek kenaikan harga komoditas lainnya. Inilah yang kemudian akan mendorong kenaikan inflasi umum,” pungkas Margo dalam siaran pers, Kamis (1/9).