Bagikan:

JAKARTA - Rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium kembali muncul jelang pergantian tahun. Pemicunya karena pernyataan dari Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) Karliansyah.

Pada Jumat, 13 November dalam sebuah acara diskusi yang diadakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Karliansyah mengatakan BBM jenis Premium di wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) akan dihapus. Regulasi ini rencananya akan berlaku per 1 Januari 2021.

"Syukur alhamdulillah pada Senin lalu saya bertemu dengan Direktur Operasional Pertamina, beliau menyampaikan per 1 Januari 2021 Premium di Jamali khususnya akan dihilangkan," kata Karliansyah, dalam diskusi virtual, Jumat, 13 November.

Namun, pernyataan Karliansyah itu masih perlu dipertanggungjawabkan lagi. Sebab, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku pembuat kebijakan soal BBM justru belum berani membenarkan wacana tersebut.

Kepala Penyiapan dan Penerapan Standardisasi Hulu Migas Kementerian ESDM Ilham Rakhman mengatakan, pihaknya perlu menunggu keputusan lebih dahulu di level kabinet.

"Harus ada rapat dari kabinet baru kami bisa sampaikan (ke publik), karena ini harus berhati-hati," ucapnya, dalam sebuah seminar daring, Rabu, 18 November.

Sementara itu, Vice President Promotion & Marketing Communication Pertamina, Arifun Dhalia mengatakan, Pertamina hanya sebagai vendor atau pelaksana tugas dari pemerintah. Penjualan bensin Premium dilakukan Pertamina karena mendapat penugasan dari pemerintah.

Arifun mengatakan, penghentian kebijakan penyaluran bahan bakar penugasan itu, hanya bisa dilakukan lewat Peraturan Presiden (Perpres). Artinya, hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bisa menghapuskan bensin Premium.

Perusahaan pelat merah itu mengaku hingga kini sama sekali belum melakukan pembahasan tentang penghapusan BBM jenis Premium. Hal ini lantaran pemerintah memang belum menyampaikan imbauan formal.

"Pertamina sangat patuh kepada pemerintah sebagai regulator bahwa Premium harus disediakan. Perpres itu pasti dikeluarkan dulu. Baru kami akan eksekusi. Untuk Premium harus Perpres," katanya.

Kinerja Pertamina

Jika melihat laporan keuangan perusahaan, saat ini, kontribusi bensin Premium terhadap pendapatan perusahaan keseluruhan berkisar 11 persen. Lantas, bagaimana dampak terhadap kinerja Pertamina jika Premium dihapus?

Sebenarnya, porsi terbesar disumbang oleh penjualan Pertamax, Pertamax Turbo, Pertalite, dan Pertadex. Tahun lalu, kelompok ini berkontribusi 25,74 persen atau sedikit di atas 2018, yang menyentuh 25,06 persen.

Sedangkan, minyak solar sebesar 24,01 persen serta elpiji, petrokimia, pelumas, dan lainnya dengan 18,72 persen. Bensin Premium berada di posisi keempat.

Namun, meski angkanya terlihat tidak signifikan, tetapi kehilangan pendapatan sekecil apapun bakal berpengaruh kinerja Pertamina. Apalagi, krisis pandemi COVID-19 menekan BUMN tersebut.

Pada 2019, harga minyak yang mulai menunjukkan tren penurunan. Hal ini membuat kinerja Pertamina sepanjang tahun lalu meredup. Hingga saat ini, harga minyak dunia masih belum mampu keluar dari kisaran 40 dolar AS per barel dan proyeksi tahun depan pun masih buram.

BBM jenis Premium. (Foto: Pertamina)

Pendapatan Pertamina tahun 2019, tercatat turun 3,35 miliar dolar AS menjadi senilai 54,58 dolar AS miliar, dibandingkan dengan realisasi sepanjang 2018, yang mencapai 57,93 dolar AS miliar. Salah satu faktor yang menyebabkan kondisi ini adalah penurunan penjualan minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi, dan produk minyak.

Kemudian, penjualan produk unggulan perusahaan migas itu lebih rendah 2,14 persen menjadi 43,78 miliar dolar AS dibandingkan dengan 2018, yang senilai 44,74 miliar dolar AS. Akibat penjualan yang menurun, laba bersih Pertamina juga tercatat stagnan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 2,53 miliar dolar AS.

Di semester I tahun ini, Pertamina mengalami kerugian tahun berjalan yang dapat diatribusikan ke entitas induk sebesar 767,91 juta dolar AS. Angka ini kontras dari capaian semester I tahun 2019, ketika Pertamina tercatat masih mampu mendulang laba bersih sampai 659,95 juta dolar AS.

Tak hanya itu, perusahaan pelat merah ini juga mengalami penurunan pendapatan ke angka 20,48 miliar dolar AS, turun dari torehan 25,46 miliar dolar AS pada semester I tahun 2019. Catatan ini berpotensi besar mengganggu kontribusi besar Pertamina ke negara, di tengah sorotan dividen yang cenderung stagnan dalam beberapa tahun belakangan.

Sementara itu, Kementerian BUMN menyayangkan situasi ini. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, kinerja BUMN-BUMN energi tengah berada di titik nadir.

"Di portofolio BUMN, yang paling terdampak Covid-19 yaitu energi. Terjadi penurunan dari konsumsi bahan bakar maupun listrik. Sangat terasa," ungkapnya dalam konferensi daring, Selasa, 20 Oktober.

Namun, kata dia, di satu sisi, penghapusan Premium memang punya implikasi positif terhadap lingkungan dan keuangan negara. Sebab, pemerintah juga mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk merealisasikan subsidi penjualan kebutuhan energi, termasuk BBM, ke masyarakat.

Di tahun 2021, pemerintah menganggarkan Rp54,4 triliun untuk subsidi BBM dan gas elpiji. Dengan asumsi Premium dihapus, anggaran ini tentu akan mengecil. Namun, di sisi lain, pemerintah membutuhkan mitigasi. Terutama, untuk mengantisipasi jika dividen yang bisa dihasilkan Pertamina makin menipis.

Premium Memang Sudah Langka

Dari tahun ke tahun, Pertamina terus melakukan pemangkasan kuota penjualan Premium secara bertahap. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Mas'ud Khamid menyebutkan kini penjualan premium berkisar 23.000 kiloliter (kl) per hari. Hal ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Senin, 5 Oktober,

Angka itu menyusut jika dibandingkan penjualan Premium yang berkisar 30.000 kl per hari pada Januari 2019. Bahkan, masih jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan penjualan BBM non-subsidi alias Pertamax. Per harinya, Pertamax terjual di kisaran 10.000 kl.

"(Pada) September 2020, Premium tinggal 23.000 kl, sedangkan Pertamax di 10.600-10.700 kl per hari," tuturnya.

Mas'ud memperkirakan baru pada 2024, porsi penjualan Pertamax yang digadang-gadang menggantikan Premium, bisa mendominasi. Tepatnya, hingga 3 kali lipat Premium.

Lebih lanjut, ia mengatakan perusahaannya sedang mengantongi data-data daerah dengan daya beli masyarakat tinggi tetapi masih punya ketergantungan besar terhadap Premium. Namun sayangnya, dia tak membeberkan mana saja daerah yang dimaksud, tetapi menyampaikan pihaknya telah mengincar pengurangan penjualan Premium lagi di daerah tersebut.

Jika rencana transisi itu dipercepat dengan langkah pencabutan Premium pada tahun baru, maka efeknya justru dinilai akan buruk. Menurut pengamat, semestinya pemerintah dan Pertamina menunda wacana penghapusan BBM jenis Premium secara total di tengah krisis.

Pasalnya, dikhawatirkan angkah tersebut justru akan membuat masyarakat kelas menengah rentan miskin dan makin terjepit di tengah tekanan pandemi COVID-19.

Memang hal tersebut, sudah diniatkan sejak lama dan sistematis. Dan faktanya, Premium sudah sulit ditemukan di SPBU terutama Jawa, Madura, dan Bali.