JAKARTA - Angka kematian global akibat COVID-19 telah melampaui satu juta. Sementara, jumlah kasus terkonfirmasi menyentuh 33 juta. WHO meyakini angka-angka itu tak mewakili jumlah sebenarnya yang lebih tinggi, baik kasus maupun kematian.
Pakar senior kedaruratan WHO, Mike Ryan mengungkap hal itu dalam konferensi pers di Jenewa, Senin, 28 September. "Jika ada, jumlah yang dilaporkan saat ini mungkin mencerminkan perhitungan yang keliru, baik menyangkut individu yang terinfeksi COVID-19 atau pun korban meninggal karenanya," kata dia.
"Ketika Anda menghitung apa pun, Anda tidak dapat menghitungnya secara sempurna. Namun saya pastikan bahwa jumlah saat ini kemungkinan lebih kecil dari jumlah korban COVID-19 yang sesungguhnya."
Satu juta kematian dan 33 juta kasus global terkonfirmasi itu tercatat dalam data Johns Hopkins University yang dipublikasikan kemarin. Amerika Serikat (AS) jadi negara paling parah dihantam COVID-19 dengan 7,1 juta kasus terkonfirmasi dan 205 ribu kematian.
Setelah AS, Brasil mengikuti dengan 4,7 juta kasus dan 142 ribu kematian. India jadi negara berikutnya di daftar teratas. Catatkan lebih banyak kasus dari Brasil, yakni enam juta kasus, India catatkan rasio kematian lebih rendah: 95 ribu jiwa. Turki dan China jadi dua negara yang juga terdampak parah. 315.800 kasus tercatat di Turki dengan angka kematian 8.062. Di China, 4.700 dari total 90 ribu kasus meninggal
Merinci total kematian mencapai 1.000.555 jiwa, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan jumlah itu sebagai "tonggak menyakitkan." Guterres juga menyebut itu sebagai "angka yang mematikan pikiran."
"Memerhatikan bahwa mereka yang meninggal adalah ayah dan ibu, istri dan suami, saudara laki-laki dan perempuan, teman dan kolega, rasa sakit telah berlipat ganda dengan kebuasan penyakit ini."
"Bagaimana kamu mengucapkan selamat tinggal tanpa berpegangan tangan, atau memberikan ciuman lembut, pelukan hangat, bisikan terakhir 'Aku mencintaimu?'" Guterres.
Lebih lanjut Guterres mengatakan penyebaran virus masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sementara banyak orang telah kehilangan pekerjaan, terganggu pendidikannya, serta berbagai pergolakan hidup lain yang dialami.
Harapan di depan
Hingga hari ini terdapat lebih dari 170 kandidat vaksin yang perkembangannya terus dipantau WHO. Dari jumlah itu, 142 kandidat vaksin berada di fase praklinis dan belum diujicoba kepada manusia. Sementara, 29 kandidat di antaranya berada di Fase 1 dan diujicoba dalam skala kecil, 18 kandidat berada di Fase 2 dengan peningkatan keamanan, serta sembilan kandidat telah berada di Fase 3 dan diujicoba dengan skala besar.
Namun belum ada vaksin yang disetujui untuk penggunaan umum. China telah menggunakan vaksin COVID-19 eksperimental pada ribuan orang sejak Juli melalui program darurat, dan saat ini memiliki sebelas vaksin dalam uji klinis dan empat di Fase 3.
Dokter Turki, pada Senin, 29 September memberi suntikan pertama vaksin virus corona kepada petugas kesehatan, ketika Fakultas Kedokteran Cerrahpasa Universitas Istanbul telah memulai uji coba Tahap 3. WHO memperkirakan vaksinasi luas di seluruh dunia paling cepat dapat dilakukan pada pertengahan 2021.
BACA JUGA:
Sampai vaksinasi yang berhasil dikembangkan dan didistribusikan ke seluruh dunia, sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa Vitamin D mampu mengurangi risiko infeksi COVID-19 dan risiko kematian terhadap mereka yang membawa virus tersebut.
"Direkomendasikan bahwa meningkatkan status vitamin D pada populasi umum dan khususnya pasien rawat inap memiliki potensi manfaat dalam mengurangi keparahan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan penularan COVID-19," berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh 11 peneliti dan dipublikasikan di jurnal sains PLOS One pada Jumat, 25 September.
Makanan dengan sumber vitamin D tertinggi adalah ikan, hati sapi, keju, kuning telur. Setiap orang membutuhkan 1.000-1.300 miligram vitamin D setiap hari, menurut WebMD.com.