JAKARTA – Balap MotoGP tak selamanya glamor, bertabur bintang dan menghamburkan banyak uang untuk pengembangan teknologi sepeda motor. Belum lagi gegap gempita pergelaran di suatu negara, seperti yang sedang ngehit di Indonesia saat ini. Balap motor purwarupa ini pernah nyaris mati di awal 1990-an.
Di pengujung 1980-an hingga awal 1990-an, MotoGP yang saat itu masih bernama GP500 dipenuhi banyak bintang. Ada duo pebalap asal Amerika Serikat, Wayne Rainey dan Kevin Schwantz yang selalu membalap di urutan terdepan dalam setiap seri.
Ada Nial McKenzie, pebalap dari Skotlandia. Mick Doohan dari Australia juga sedang segar-segarnya saat itu. Lantas Prancis diwakili Jean-Philippe Ruggia. Eddie Lawson (AS) dan Wayne Gardner (Australia) mulai beranjak tua, namun kehadiran mereka masih disegani.
Penonton tetap memadati setiap pergelaran GP500 di awal 1990-an, namun kebanyakan tidak menyadari bahwa tim-tim yang bersaing di lintasan sedang megap-megap. Alasannya bermacam-macam, mulai tak ada cukup dana untuk mengembangkan motor hingga banyak pebalap cedera karena prosedur keamanan yang belum seketat saat ini.
Dalam balap GP500 Amerika Serikat di Sirkuir Laguna Seca, California pada 8 April 1990 misalnya. Dari 18 pebalap yang turun hanya 10 yang finis, delapan lainnya berjatuhan. Wayne Rainey sebagai juara dengan catatan waktu 50 menit 55,379 detik. Mick Doohan berada menjadi runner up dengan selisih waktu 30,386 detik. Selisih yang sangat jomplang!
BACA JUGA:
Urutan 6-8 yang ditempati Juan Gariga (Spanyol), Randy Mamola (AS), dan Alex Barros (Brasil) tertinggal 1 lap. Sementara peringkat 9 dan 10, Peter Linden (Swedia) dan Nick Schassman (Swiss) malah tertinggal 3 lap. Seandainya keduanya menghabiskan seluruh putaran, selisih dengan Rainey bisa-bisa mencapai 4 menit!
Bandingkan dengan era MotoGP kekinian. Di era motor-motor modern yang dipenuhi piranti elektronik, selisih waktu antara juara dan peringkat buncit dari 22 peserta rata-rata berkisar 50 detik.
Pengembangan Super Mahal
Pengembangan motor purwarupa yang digunakan di MotoGP memang super mahal. Untuk membentuk tim MotoGP andal dengan peluang menjadi juara masih 50 persen, diperlukan setidaknya 10 juta euro atau sekitar Rp157 miliar. Kalau ingin membentuk tim dengan peluang juara 80-90 persen, kocek perlu dirogoh lebih dalam lagi tambahan 5 juta euro atau sekitar Rp78,5 miliar.
Sebab itu di tahun 1990 sempat muncul wacana MotoGP lebih baik disuntik mati. Apalagi tahun 1988 mulai digelar balap Superbike World Championship (WSBK). Balapan motor pasaran yang dimodifikasi. Lajunya tidak secepat MotoGP dan biaya operasionalnya murah meriah.
“Orang yang melontarkan ide seperti itu, pasti dari hasil perenungan di kamar mandi. Yang diperlukan GP500 saat ini bukan dibunuh atau diganti motor bodoh bernama superbike, namun digelontor investasi yang lebih besar untuk mengembangkan teknologi sepeda motor,” ujar “King” Kenny Roberts, pebalap legendaris Amerika Serikat yang pada 1990 adalah pemilik tim juara, Yamaha Roberts dalam wawancara dengan Motor Sport Magazine.
“Saya selalu mencari hal-hal yang luar bisa, dan itu ada di GP500. GP500 adalah pertunjukkan terbesar balap motor, puncaknya. Publik ingin melihat pada pebalap yang melaju sangat cepat, dan semakin cepat dari tahun ke tahun,” kata Roberts lagi.
Roberts akhirnya berhasil mengetuk hati para petinggi Yamaha untuk mengembangkan motor baru. Tahun 1992 Yamaha mengembangkan YZR500, yang tak hanya boleh dipakai tim pabrikan namun bisa disewa oleh tim independen atau satelit.
Langkah Yamaha itu ditiru Honda yang mengembangkan NSR500V, dan juga diperbolehkan dipakai tim satelit. Hingga saat ini, kebiasaan tersebut terus berjalan. Pabrikan mengembangkan motor, sedangkan tim-tim satelit berkreasi untuk membuatnya sama cepat dengan tim pabrikan.
Sekarang MotoGP kembali meriah, hidup. Jauh lebih hidup dan berkembang dibandingkan 30 tahun lampau, ketika balap motor purwarupa ini nyaris mati kehabisan energi. Pebalap dari tim satelit mampu berpacu secepat tim pabrikan, karena motor sebagai modal dasar mereka berjenis sama.