Mason Greenwood Diduga Aniaya Pacarnya, Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat: So, Speak Up!
Mason Greenwood, penyerang Manchester United yang diduga menganiaya pacarnya, Harriet Robson. (Foto: EPA-EFE/Peter Powell)

Bagikan:

JAKARTA - Karier pesepakbola Mason Greenwood terancam hancur, setelah dia terjerat kasus kekerasan terhadap perempuan. Greenwood, striker muda berusia 20 tahun asal klub Liga Primer Inggris Manchester United, dituduh menganiaya Harriet Robson yang tak lain adalah pacarnya.

Berawal dari unggahan video di akun instagram dan twitter Robson pada Minggu 30 Januari 2022, yang menunjukkan luka dan lebam di sekujur tubuhnya. Robson menambahkan tulisan “untuk semua orang yang ingin tahu apa yang Mason Greenwood lakukan kepadaku” dalam unggahan video, yang mempertontonkan bibirnya yang berdarah.

Menurut pemberitaan media di Inggris, Greenwood meminta Robson untuk bercinta namun permintaan itu ditolak. Perempuan ini juga mengunggah rekaman pembicaraan, untuk membuktikan bahwa Greenwood memaksa Robson.

Polisi langsung mencokok Greenwood, dan menahannya atas tuduhan melakukan upaya perkosaan dan penganiayaan. Dasar penangkapan striker yang dibayar 75 ribu pound sterling per minggu, atau sekitar Rp1,4 miliar itu adalah unggahan video Robson di media sosial.

Mason Greenwood dan Harriet Robson (Foto: Instagram)

“Kepolisian peduli dengan gambar atau video yang diunggah di media sosial oleh perempuan yang mengadu mengalami kekerasan fisik,” bunyi pernyataan Kepolisian Manchester.

United pun mengeluarkan pernyataan bahwa klub tersebut tidak akan memainkan striker yang sudah mencetak 35 gol dari 129 penampilan bersama Setan Merah, sampai penyidikan kasusnya tuntas.

“Mason Greenwod tidak akan mengikuti latihan ataupun dimainkan, sampai ada pengumuman selanjutnya,” bunyi pernyataan United, seperti dilansir The Sun.

Greenwood adalah pemain termuda dalam sejarah yang masuk skuad utama United. Dia masih berusia 17 tahun ketika pelatih Jose Mourinho memanggilnya ke tim utama pada tahun 2018, untuk ikut tur pramusim di Amerika. Greenwood sudah dibina di United sejak berusia 6 tahun, saat masuk akademi sepak bola klub itu.

Unggahan Harriet Robson di akun media sosial soal kekerasan yang dilakukan Mason Greenwood. (Foto: Twitter)

Nama Greenwood semakin moncer setelah pelatih Ole Gunnar Solskjaer memainkannya, untuk menggantikan Ashley Young di menit ke-87’, saat laga melawan Paris Saint Germain dalam ajang Piala Champions di Paris pada 6 Maret 2019. Itulah debut Greenwood dalam kompetisi resmi. Tahun 2020 pelatih Gareth Southgate memanggil Greenwood untuk memperkuat tim nasional Inggris.

Kasus di Indonesia

Meskipun baru disangkakan sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan, Greenwood sudah kehilangan banyak peluang emas sebagai pesepakbola profesional papan atas. Produsen peralatan olahraga Nike langsung menangguhkan kontrak sebagai sponsornya. United pun melucuti semua pernak-pernik berbau Greenwood yang dijual di toko cendera mata mereka.

Di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, banyak “Greenwood-Greenwood lain” yang juga melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Beberapa kasus di Indonesia dapat dirangkum VOI, antara lain yang melibatkan pemain timnas Saddil Ramdani.

Saddil (23 tahun) yang kini bermain untuk klub Sabah FC di Liga Super Malaysia, pada tahun 2018 pernah dilaporkan menganiaya pacarnya yang bernama Anugrah Sekar Larasati. Ketika itu Saddil yang baru berusia 19 tahun, masih memperkuat klub Persela Lamongan. Saddil sempat ditahan namun kasus tersebut berujung pencabutan laporan keluarga sang pacar, dan diselesaikan lewat jalan damai.

Zlatan Ibrahimovic dengan cat merah di wajahnya sebagai partisipasi kampanye antikekerasan terhadap perempuan. (Foto: AC Milan)

Pada tahun 2017 muncul berita kasus perkosaan terhadap seorang perempuan bernama IR (20 tahun) di Palembang. Pelaku yang disangkakan ada tiga, dan semua merupakan anggota timnas U-19 saat itu. Mereka adalah Maldini Pali, Marco Sandy Merauje, dan Hendra Sandi. Ketiga pemain tersebut saat itu membela klub Sriwijaya FC Palembang. Kasus ini juga berakhir dengan damai.

Mantan penyerang timnas Andika Yudhistira Lubis juga tersandung kasus kekerasan terhadap perempuan di Medan pada tahun 2018. Pemain yang namanya naik saat membela Indonesia di SEA Games 2009 Laos itu terbukti melakukan perampokan dan tindak kekerasan terhadap seorang perempuan. Pengadilan Negeri Medan memvonis Andika dengan hukuman satu tahun penjara pada 14 Agustus 2018.

Pemain naturalisasi asal Nigeria, Greg Nwokolo juga pernah dituduh melakukan pelecehan seksual. Namun kasus tersebut menguap karena tidak cukup bukti untuk menyeret mantan striker timnas Indonesia tersebut ke pengadilan.

Peningkatan Hingga 75 Persen

Kanpanye untuk menolak aksi kekerasan terhadap perempuan terus dilakukan, termasuk melalui sepak bola sebagai cabang olahraga terpopuler di dunia. Pada tahun 2018, kompetisi Liga Italia Serie A mendukung kampanye yang digaungkan oleh organisasi nirlaba asal Italia, WeWorld Onlus. Kampannye tersebut bertujuan menentang aksi kekerasan terhadap perempuan yang kerap terjadi di Italia dan belahan lain dunia.

Wujud kampanye tersebut adalah dengan menorehkan cat warna merah di wajah pemain-pemain sepak bola yang berlaga di Liga Italia Serie A. Para pesepakbola papan atas seperti Cristiano Ronaldo, Zlatan Ibrahimovic, Francesco Toldo, hingga Alessandro Del Piero mendukung kampanye tersebut.

“Kekerasan adalah masalah budaya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, anak-anak kita harus diajarkan nilai yang benar dan mereka harus tahu bagaimana caranya menghormati sesama,” kata Toldo, mantan kiper timnas Italia dan klub Inter Milan seperti dikutip The Sun.

Kampanye yang ditandai dengan tagar #unrossoallaviolenza atau kartu merah terhadap kekerasan itu rutin dilakukan sampai sekarang.

Berdasarkan data Komnas Perempuan dari Januari hingga September 2021 terdapat 4000 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Budaya patriarki di Indonesia kerap disalahkan sebagai penyebab banyak perempuan di Indonesia tidak bersedia membeberkan kasus kekerasan yang dialami.

Menurut keterangan Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan COVID-19 yang disampaikan Reisa Broto Asmoro, ada peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 75 persen selama masa pandemi sejak 2020. Angka tersebut merupakan gabungan catatan dari Kementerian Pemberdayaan Peremuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) serta Komnas Perempuan.

Reisa Broto Asmoro. (Foto: Dok. BNPB)

Total kasus yang dicatat Kemen PPPA dan Komnas Perempuan selama pandemi COVID-19 sebanyak 14.719. Kasus terbanyak merupakan kekerasan fisik yang mencapai 5548 kasus, kekerasan seksual 4898 kasus, kekerasan psikis 2123 kasus, kekerasan ekonomi 1528 kasus, dan kekerasan terhadap buruh migran sebanyak 610 kasus.

“Korban bisa melapor ke pemerintah setempat di Jakarta misalnya tersedia layanan call center untuk melayani pengaduan kekerasan, pada situasi pandemi saat ini pelayanan tetap dibuka dengan mengutamakan protokol kesehatan, misalnya dengan cara pencatatan semua dokumen dan penanganan dilakukan secara daring oleh petugas," kata Reisa, saat melakukan siaran langsung di kanal YouTube Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 10 Juli 2020.

Komunitas Pejuang Vaginismus yang dipelopori aktivis perempuan, Dian Mustika pada 25 November 2021 meluncurkan aplikasi Akasia. Menurut Dian, awal aplikasi ini tercipta dari beberapa keluh kesah anggota Komunitas Pejuang Vanigismus, dan beberapa teman dekatnya yang mengalami kasus kekerasan terhadap perempuan.

Aplikasi Akasia. (Foto: Istimewa)

“Dari keluh kesah tersebut, saya akhirnya memutuskan untuk membuat aplikasi Akasia yang nantinya bakal menjadi guardian bagi perempuan Indonesia," kata Dian.

Aplikasi Akasia memiliki fitur utama yang disebut Panic Button. Seorang perempuan yang mengalami kekerasan atau pelecehan, tinggal memencet tombol di ponselnya. Sinyal dari korban kekerasan terhadap perempuan tersebut akan langsung diterima oleh orang dalam radius terdekat, yang juga mengakses aplikasi Akasia.

Sang penerima sinyal diharapkan dapat dengan segera memberikan pertolongan terhadap korban. Melihat pertumbuhan pengguna internet yang pesat di Indonesia, Akasia seharusnya semakin banyak diinstal kaum hawa sehingga dapat cepat menguak kasus kekerasan terhadap perempuan.

Banyak cara untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan. Tinggal bagaimana menghadapi budaya patriarki di Indonesia, yang membuat kaum perempuan enggan mengungkap kekerasan yang mereka alami. So, speak up!