Bagikan:

JAKARTA- Setelah akhir tahun 2021 pemberitaan soal Papua disemarakkan kabar gembira penyelenggaraan PON XX, awal 2022 provinsi paling timur di Indonesia itu kembali diselimuti berita duka. Apalagi kalau bukan aksi sekelompok orang bersenjata yang menembaki dan menewaskan aparat TNI.

Serangan terakhir yang terjadi di Bukit Tepuk, Kampung Jenggernok, Distrik Gome, Kabupaten Puncak pada 27 Januari 2022. Target serangan mereka pos jaga TNI, yang menyebabkan tiga prajurit kebanggaan Indonesia gugur dan satu terluka. Mereka adalah Serda M.Rizal Maulana Arifin, Pratu Tupel Alomoan Baraza, dan Pratu Rahman Tomilawa. Sementara prajurit yang terluka adalah Pratu Syaiful.

Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa sampai harus datang ke Papua untuk melayat ketiga prajurit yang gugur tersebut. Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Dudung Abdurachman memimpin upacara pemakaman Serda Rizal di Bandung, Pangdam II Sriwijaya, Mayjen TNI Agus Suhardi memimpin pemakaman Pratu Baraza di Jambi, sedangkan pemakaman Pratu Tomilawa di Maluku Tengah dipimpin Pangdam XIV Pattimura Mayjen Richard Tampubolon.

Pasukan TNI-Polri disiapkan untuk pengamanan Peparnas XVI Papua 2021 (Foto: Antara/Gusti Tanati)

"Pimpinan dan seluruh prajurit serta keluarga besar TNI AD menyampaikan rasa duka yang mendalam atas gugurnya tiga prajurit dari Satgas Kodim YR 408/Sbh," kata Kepala Dinas Penerangan (Kadispenad) TNI AD Brigjen TNI Tatang Subarna seperti dikutip Antara, Kamis, 27 Januari.

“Baku tembak antara prajurit TNI AD dan KKB Papua terjadi sekitar pukul 04.30 WIT. Kelompok kriminal bersenjata itu menyerang Pos Koramil Gome sehingga tiga prajurit gugur dan satu prajurit dalam kondisi kritis akibat kena tembak,” ujar Tatang dalam siaran pers tersebut.

Awal Gerakan Bersenjata di Papua

Jika dirunut ke belakang, istilah yang diberikan kepada kelompok bersenjata di Papua pada awalnya hanya OPM yang mengacu pada Organisasi Papua Merdeka. Tujuan gerakan yang muncul pada tahun 1963 ini jelas: memerdekakan Papua dari Indonesia, sesuai nama yang mereka sandang. OPM tercatat pertama kali melakukan serangan bersenjata di Manokwari yang sekarang ibu kota Provinsi Papua Barat, pada 26 Juli 1965.

Tahun 2021 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan agar OPM dikategorikan sebagai kelompok teror. BNPT yakin pemberantasan OPM akan mendongkrak rasa aman dan menyejahterakan masyarakat Papua. OPM membantah bahwa mereka meresahkan masyarakat Papua. OPM mengklaim setiap aktivitas mereka justru ditujukan untuk membela hak warga Papua.

“Kalau OPM dicap teroris, saya pikir aparat akan semakin semena-mena. Warga sipil yang tidak ada kaitan dengan OPM bisa secara sembarangan ditangkap dengan dalih terorisme," ujar Gustaf Kawer, Ketua Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia Papua seperti dikutip BBC Indonesia.

Jembatan Holtekamp yang membelah Teluk Youtefa di Jayapura, salah satu wujud pembangungan fisik di Papua. (Foto: Antara/Gusti Tanati)

Belakangan pemberian nama untuk kelompok bersenjata di Papua semakin beranak pinak. Ada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), KSB yang bisa diartikan Kelompok Sipil Bersenjata atau Kelompok Separatis Bersenjata, Kelompok Separatis Teroris Papua (KSTP), Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB), Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), dan entah bakal muncul penamaan apa lagi.

Sepanjang 2020-2021, kelompok-kelompok bersenjata tersebut melakukan setidaknya 20 penyerangan, baik kepada warga sipil maupun aparat keamanan. Mulai penyerangan markas Brimob di Nduga pada 11 Januari 2020, penyerangan terhadap pilot dan penumpang maskapai penerbangan Susi Air di Bandara Kabupaten Puncak pada 13 Maret 2021, hingga penyerangan Puskesmas yang menewasakan tenaga kesehatan di Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang pad1 17 September 2021.

Pilihan Sulit Pemerintah

Meskipun jelas-jelas mengusung misi memerdekakan Papua, namun tidak mudah bagi Pemerintah Indonesia untuk menggolongkan kelompok-kelompok bersenjata tersebut sebagai pemberontak. Jika mereka disebut sebagai pemberontak atau gerakan makar, maka itu adalah peluang untuk membawa masalah ini ke dunia internasional dengan merujuk pada Protokol tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa.

Konvensi Jenewa adalah hukum internasional tentang cara penanganan terhadap peperangan, yang dikenal pula sebagai hukum kemanusiaan internasional. Protokol tambahan II 1977 dari Konvesi Jenewa membahas soal konflik bersenjata di dalam sebuah negara yang tidak melibatkan anasir asing.

Stadion Lukas Enembe di Sentani, Kabupaten Jayapura. (Foto: Antara/Nova Wahyudi)

Dalam pasal 3 Protokol tambahan II tersebut disebutkan bahwa pihak asing dilarang mengintervensi konflik internal sebuah negara. Namun pihak yang dicap sebagai pemberontak dapat membawa masalah yang dihadapi ke dunia internasional, jika mereka menganggap ada pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa.

Indonesia belum menyetujui Protokol tambahan II, namun sudah meratifikasi Konvensi Jenewa. Karena itu penyebutan kelompok-kelompok bersenjata di Papua sebagai pemberontak mengandung risiko dunia internasional turut campur dalam konflik TNI-Polri dengan kelompok-kelompok tersebut.

Hingga detik ini penyelesaian konflik Papua tak kunjung menemukan solusi. Pembangunan fisik, kemeriahan pesta olahraga, rencana pemberian otonomi khusus, hingga pemekaran wilayah belum cukup untuk meredam konflik yang terjadi. Entah, kapan kedamaian seutuhnya akan datang di pulau yang dibanggakan sebagai Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi.