JAKARTA - Diskusi menarik bergulir di Twitter. Kali ini opini yang mengemuka adalah "normalisasi terhadap orang-orang yang tak suka anak kecil." Ya, terserah saja. Tapi jika anak gede boleh tak suka anak kecil, apa hak itu berlaku sebaliknya? Toh, akui saja, bagaimanapun, anak gede pasti lebih menyebalkan, bahkan lebih berbahaya untuk anak kecil.
Diskusi ini bermula dari kicauan @gevantgrady. Menurut dia tak semua orang sanggup bersabar menghadapi anak kecil dengan berbagai tingkahnya, termasuk mendengar jeritan yang mengganggu. Opini ini ditanggapi pro dan kontra.
Akun @UlarNegeri meresponse, "Grow up!"
Normalize orang tidak suka anak kecil. Ga semua orang sanggup untuk sabar ngadepin anak kecil dengan segenap tingkahnya dan mendengar jeritan2 mereka yg menganggu. Sorry to say.
— Fuck Patriarchy! (@gevantgrady) January 1, 2022
Sistem sensory merupakan sistem yang menghantarkan rangsangan dari reseptor ke pusat otak. Dengan stimulus, sistem sensory menyalurkan informasi ke bagian otak yang berfungsi mengolah informasi.
Manusia sendiri memunyai tujuh sistem sensory, mulai dari peraba, keseimbangan, gerak antarsendi, penglihatan, pengecapan, penciuman, serta pendengaran. Dalam prosesnya, sistem sensory bekerja menerima rangsangan dari lingkungan internal ataupun eksternal.
"Jadi ketika kaitannya dengan anak berteriak, itu kayaknya sensory auditory (pendengaran) enggak sanggup menerima teriakan anak kecil itu dan mengganggu dia."
"Jadi ketika ada stimulus yakni tangisan anak kecil, otak langsung menerjemahkan itu sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan."
Ketika otak menerjemahkan suara bising dari anak sebagai hal tak menyenangkan, di situlah reseptor dalam pusat otak jadi tak seimbang atau balance. "(Saat tidak balance) jadi muncul lah perasaan suka, tidak suka tadi," tambah Ratih.
Bagaimana jika logika ini dibalik?
Kami gagal menemukan kasus-kasus di mana anak kecil membahayakan anak gede. Tapi, kasus anak gede membahayakan anak kecil, amat banyak. Angka yang dicatat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) membuktikan.
Bahkan kekerasan terhadap anak meningkat dalam tiga tahun belakangan: 2019-2021. Di antara angka-angka kekerasan itu berbentuk kekerasan seksual dan eksploitasi. Anak-anak keci lebih apes di tangan anak gede.
"Untuk kasus eksploitasi anak dan korban perdagangan anak itu angkanya lebih tinggi, kelihatan signifikan daripada kekerasan lainnya. Tapi perkembangan pandemi itu khusus kasus eksploitasi anak yang tinggi," tutur Deputi bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar, dikutip CNN Indonesia.
Pandemi COVID-19 memperparah kondisi ini. Menurut Nahar sistem informasi online (Simfoni) perlindungan perempuan dan anak mencatat lebih dari enam ribu laporan kekerasan terhadap anak selama pandemi.
Data itu mencantumkan jumlah kekerasan pada anak di 2019 mencapai 11.057 kasus. Dirinci, kekerasan terdiri dari kekerasan fisik, dengan 3.401 kasus, kekerasan psikis (2.527), kekerasan seksual (6.454), eksploitasi (106), tindak pidana perdagangan orang (111), penelantaran (850) kasus, serta 1.065 kasus kekerasan lainnya.
Di 2020, jumlah kekerasan pada anak meningkat jadi 11.278 kasus. Dirinci, kekerasan fisik berjumlah 2.900 kasus, psikis (2.737), kekerasan seksual (6.980), eksploitasi (133), TPPO (213), penelantaran (864), dan kasus kekerasan lainnya 1.121 kasus.
Tahun lalu, data yang dihimpun sepanjang Januari hngga September, jumlah kekerasan pada anak tercatat 9.428 kasus. Rinciannya adalah 2.274 kasus kekerasan fisik, 2.332 kekerasan psikis, 5.628 kekerasan seksual, serta 165 kasus eksploitasi anak, 256 kasus perdagangan orang, 652 kasus penelantaran, dan 1.270 kasus lainnya.
Angka yang sudah sangat banyak dihimpun dari laman Simfoni itu, menurut Nahar bisa jadi lebih sedikit dari realitas. Ada kemungkinan kasus-kasus yang tak dilaporkan. Selalu. Jadi, bagaimana? Kami mewakili anak-anak kecil mendorong normalisasi jika banyak dari anak-anak kecil tak suka anak gede.
*Baca Informasi lain soal PERLINDUNGAN ANAK atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.