Bagikan:

JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi. dan Geofisika (BMKG) mencabut peringatan dini tsunami di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebelumnya peringatan diterbitkan menyusul gempa Magnitudo potensi tsunami pada Selasa, 14 Desember. Peristiwa hari ini mengingatkan kita pada 'Timur Tragedi', bencana serupa yang melanda wilayah sama 12 Desember 1992, 29 tahun lalu.

"Peringatan Dini #Tsunami yang disebabkan oleh #Gempa Magnitudo: 7.4, 14-Des-21 10:20:23 WIB, dinyatakan telah berakhir #BMKG," tulis BMKG dalam Twitternya, @infoBMKG dilansir VOI, Selasa, 14 Desember.

Dalam penjelasannya, lokasi gempa berada di 113 km Barat Laut Larantuka-NTT. Masyarakat diminta untuk selalu mengikuti arahan peringatan dari BPBD, BNPB dan BMKG.

Sebelumnya, masyarakat di Kabupaten Flores Timur, NTT, berhamburan setelah digoyang gempa pada Selasa, 14 Desember siang tadi. Gempa diperkirakan terjadi sekitar pukul 10.45 WIT.

Tangkap layar peringatan dari BMKG (Sumber: https://warning2.bmkg.go.id)

Salah satu warga di Flores Timur, Larantuka, Fransiskus Tukan menuturkan, gempa terjadi dalam durasi yang singkat. "Jadi awalnya pelan sekali dirasakan tapi terjadi beberapa kali."

"Warga, termasuk saya masih tenang dengan kekuatan gempa kecil ini," tutur Frano, sapaan Fransiskus saat dihubungi VOI dari Jakarta, Selasa, 14 Desember.

Frano melanjutkan, kekuatan gempa meningkat tiba-tiba dan membuat warga panik, berlarian dan berhamburan ke luar rumah. Hampir di setiap rumah, warga mencari lokasi aman dengan berdiri di halaman atau jalan-jalan kota.

"Jadi ini rasanya besar gempanya. Ibaratnya yang lagi tidur nyenyak juga bisa merasakan. Dari yang kecil, pelan-pelan, tiba-tiba langsung besar. Semua warga berlarian ke halaman rumah menghindari bangunan roboh atau material bangunan," tambah Frano.

Timur Tragedi: Gempa dan tsunami Flores 1992

Dampak gempa dan tsunami Flores 1992 (Sumber: Mercy Corps

Tsunami yang berawal dari gempa berkuatan 7,5 SR pada 12 Desember 1992 itu menghancurkan Flores. Ribuan korban jiwa berjatuhan. Ratusan tempat ibadah hancur. Orang Flores kemudian mengingat peristiwa ini sebagai 'Kiamat di siang hari'.

Jejak Indonesia sebagai episenter dari gempa bumi hadir dalam banyak karya maupun catatan perjalanan pesohor dunia. Salah satu yang merekamnya adalah Letnan Gubernur Hindia-Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Selama kepemimpinannya di Tanah Harapan (Jawa), Raffles menyadari betapa bumi Nusantara sangat rawan gempa.

Raffles pernah menuliskan tentang gempa besar di Batavia pada 1699. Gempa itu membuat lingkungan Batavia semakin tak sehat. Di lain kesempatan, Raffles turut menyebut gempa sebagai salah satu penyebab banyaknya candi-candi populer di Nusantara rusak.

Baginya, hanya kekuatan tektonik dalam skala besar yang mampu melipat teras bangunan candi. Lantai teras candi melengkung hingga batu-batu stupa berjatuhan dan berserakan di lantai teras, seperti gambaran Borobudur saat awal ditemukan kembali oleh Raffles.

“Dalam penambahan pernyataan mereka tentang dua reruntuhan benda-benda kuno, Brambanan (Prambanan) dan Boro Bodo (Borobudur) merupakan benda-benda yang mengagumkan sebagai karya yang agung. Beberapa luas bangunan tertutup tanaman yang begitu indah. Namun kehancuran pun telah terjadi secara perlahan di beberapa tempat. Bentuknya simetri dan teratur, banyak karakter manarik terlihat pada situs dan relief yang ada, yang penuh ornamen dan membangkitkan rasa keingintahuan kini, namun semua itu belum banyak dipelajari, disketsakan dan dijelaskan,” ungkap Thomas Stamford Raffles dalam mahakarya, The History of Java (1817).

Ilustrasi foto dampak tsunami Flores 1992 (Sumber: International Tsunami Information Center UNESCO)

Berbeda dengan Raffles. Naturalis Alfred Russel Wallace, dalam perjalanannya ke Nusantara banyak merekam perihal gempa di luar pulau Jawa, tepatnya di bagian timur Nusantara. Timur Nusantara disebut Alfred sebagai daerah paling rawan gempa. Pengamatan itu dituangkan dalam catatan perjalanannya ke Manado, Celebes (Sulawesi) pada 1858.

Alfred sering mendapati gempa skala rendah dan cukup kuat menggetarkan bangunan. Dalam konteks itu, Alfred bahkan sampai memerhatikan perilaku kaum bumiputra setempat ketika gempa bumi melanda wilayah tersebut. Gempa, kata Alfred, mampu memunculkan rasa takut sekaligus geli di antara kaum bumiputra.

Satu sisi, Alfred melihat gempa dapat menghabisi nyawa banyak orang. Sisi lain, kaum bumiputra setempat menganggap gempa seolah permainan yang mengharuskan mereka adu cepat keluar rumah.

“Ada campuran rasa takut dan geli selama gempa berlangsung. Kami takut akan munculnya getaran lebih kuat yang bisa membuat rumah-rumah roboh menimpa kami. Atau yang lebih saya takutkan gempa akan menyebabkan longsor. Namun, di saat bersamaan, rasanya kocak sekali melihat kami semua berhamburan keluar ke luar setiap kali ada getaran ringan, lalu segera masuk kembali,” tulis Alfred Russel Wallace dalam mahakaryanya, Kepulauan Nusantara (2009).

Boleh jadi Alfred Russel Wallace menyebut bencana gempa sebagai perpaduan dalam tragedi dan komedi. Asumsi itu karena Alfred menjelajahi Indonesia dalam kurun waktu 1854-1862. Pernyataannya akan berbeda jika merasakan langsung gempa dan tsunami Flores pada 12 Desember 1992.

Gempa dengan magnitude besar itu mengguncang laut Flores sekaligus membawa kedukaan mendalam bagi segenap warganya. Badan Meterologi dan Geofisika mencatat magnitude gempa itu berada pada angka 6,8 SR.

Akan tetapi, lembaga geofisika Institut de Physique du Globeyang yang berkedudukan di Strasbourg, Perancis, mencatat magnitudonya mencapai angka 7,5 SR. Gempa Flores membuat empat kabupaten (Sikka, Ngada, Ende, dan Flores Timur) luluh lantak. Setelahnya, gelombang besar Tsunami menggasak pulau-pulau kecil serta beberapa perkampungan nelayan. Tercatat, korban tewas dari perisitiwa itu mencapai lebih dari 2.400 orang.

Peta sebaran dampak tsunami Flores (Sumber: International Tsunami Information Center UNESCO)

Selain korban tewas, sekitar 18 ribu rumah hancur, 113 sekolah porak-poranda, 211 kantor rusak berat, 120 tempat ibadah (sebagian besarnya gereja) tak dapat digunakan. Lima jalanan utama juga lumpuh total. Deretan fakta itu, menjadikan gempa dan tsunami Flores sebagai gempa bumi dengan korban terbesar sepanjang sejarah, sebelum adanya Gempa Aceh (2004) dan Gempa Yogyakarta (2006).

“Maumere, jantung dan Ibu Kota Kabupaten Sikka, menderita paling parah. Lebih dari 10 ribu rumah penduduk hancur. Kota ini berpenduduk sekitar 20 ribu jiwa. Denyut kegiatan ekonomi di sana sementara ini boleh dibilang mengalami koma, kendati bukan berarti mati. Lihat saja, bagaimana pasar lama di dekat pelabuhan hancur. Daerah pertokoan tinggal puing dan bangunan rontok. Kantor BRI, rumah sakit, dan semua bangunan pemerintah lainnya rusak berat,” ujar Wahyu Muryadi dan Zed Abidien dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Bencana dan Bantuan di Pulau Bunga (1992).

Maumere praktis jadi kota mati. Bencana gempa itu semakin parah karena setelahnya hantaman gelombang tsunami menyapu Pulau Babi dan Pulau Pamana Besar. Tsunami pun menyapu seluruh muka dua pulau kecil yang berpenduduk total sekitar dua ribu orang. Hampir semua penduduk tersedot air. Bukan cuma itu, gelombang hebat tsunami masih merayap sejauh 300 meter ke pantai Maumere dan menerjang perkampungan nelayan.

“Maumere menderita paling parah. Sekitar 1.100 penduduk yang meninggal berasal dari daerah nelayan miskin itu. Dan ratusan yang lain menderita luka parah. Sampai-sampai rumah sakit di Maumere terpaksa membaringkan pasien yang membanjir itu di lorong-lorong bangsal,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Kiamat Itu Bernama Gempa (2018).

Imbasnya, penduduk yang selamat memilih membangun tenda darurat di bukit-bukit terdekat. Apalagi, pascabencana gempa dan tsunami, banyak warga yang mengalami trauma mendalam. Petugas penyelamat bergerak cepat. Jenazah yang berserakan langsung dikubur. Ada yang dikubur satu orang dalam satu liang.

Ada pula yang satu liang diisi oleh dua hingga tiga orang. Itupun galian lubang kubur tak bisa terlalu dalam, karena baru setengah meter digali, air asin sudah memenuhi lubang. Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai Kiamat di siang hari. Kedukaan mendalam langsung menyelimuti seluruh Indonesia.

Orang Flores yang seharusnya menyambut Natal tahun 1992 dengan suka cita, justru merayakan natal dalam kedukaan kehilangan sanak famili dan mata pencaharian. Untuk mengenang perisitiwa itu, band metal asal Surabaya, Power Metal sempat merangkum kesedihan dari perisitiwa gempa dan Tsunami Flores 1992 dalam lagu berjudul Timur Tragedi (1993).

Timur tragedi

Engkau membabi buta

Binasakan harta dan benda

Timur tragedi

Apa engkau pertanda

Terkadang alam berani murka.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Bagus Santosa dan Detha Arya Tifada.

BERNAS Lainnya