Bagikan:

JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang kebijakan pemerintah terkait penanganan COVID-19 di Indonesia, utamanya pelonggaran sejumlah fasilitas publik seiring dengan melandainya penularan, harus integral dan tak boleh ada perbedaan perlakuan.

"Ketika ada pelonggaran dari kondisi penanganan COVID-19 yang sudah mulai terkendali, maka treatment itu berlaku secara keseluruhan. Ada equal treatment,” ujar Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam dikutip Antara, Rabu, 27 Oktober.

Asrorun tak setuju jika ada pendapat yang menyatakan aktivitas keagamaan menjadi pemicu meningkatnya angka penularan COVID-19 di masyarakat, sehingga masih harus dibatasi.

Justru, kata dia, dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan telah menyeimbangkan antara tanggung jawab keagamaan dengan menjaga keselamatan jiwa.

“Kalau aktivitas keagamaan misal Shalat Jumat, Idul Fitri atau ke gereja itu rata-rata mereka memahami protokol kesehatan bahkan yang tak terkontrol itu mereka yang rekreasi,” kata dia.

Dia mencontohkan sejumlah tempat pariwisata mendapat pelonggaran untuk dibuka bahkan diberikan insentif demi pemulihan ekonomi, namun ternyata tak bisa menjaga aturan prokes seperti daya tampung yang melebihi ketentuan.

Sementara di tempat-tempat keagamaan, kebijakan penanganan COVID-19 sudah dilaksanakan secara terukur dengan memperhatikan protokol kesehatan. Maka dari itu, kebijakan-kebijakan relaksasi harus diterapkan secara integral ke semua aspek kehidupan.

Artinya, apabila fasilitas publik seperti sektor-sektor pemulihan ekonomi diberikan relaksasi. Maka kegiatan keagamaan juga tak boleh dibatasi asalkan tetap mematuhi protokol kesehatan.

"Pada saat mal-mal penuh ekonomi bisa bergeliat tapi di sisi lain tanggung jawab protokol kesehatan harus tetap terwujud. Kalau masjid terkendali, jarang sekali masjid yang abai Prokes, pengajian jalan, hal seperti ini perlu kita jaga,” kata dia.