JAKARTA - Terus merangkaknya angka kasus harian COVID-19 di Indonesia menjadi perhatian publik. Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk menekan virus yang telah menjangkiti 102.051 orang tersebut. Dia menilai, pemerintah sepertinya enggan untuk menekan laju COVID-19 di tengah masyarakat.
"Pemerintah saja enggak ada niat mau menekan angka penularan, jadi mau gimana lagi," kata Pandu kepada wartawan, Selasa, 29 Juli.
Dia tak yakin pemerintah mau kembali menerapkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti yang terjadi seperti di awal masa pandemi di Indonesia, meski penambahan kasus terus terjadi di sejumlah wilayah. Sebab, menurut Pandu, pemerintah hanya berusaha untuk menghidupkan ekonomi, tapi tidak berusaha untuk menanggulangi penularan COVID-19 di tengah masyarakat.
Indonesia, sambung dia, bahkan sangat mungkin menjadi sentra pandemi COVID-19 jika pemerintah terus menerus memikirkan masalah ekonomi daripada memikirkan masalah kesehatan. Sebagai epidemiolog, Pandu merasa dirinya tak pernah mendengar keseriusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menanggulangi virus ini.
"Yang diomongin selalu ekonomi, pemulihan ekonomi, ngasih duit. Tapi saya enggak pernah dengar keseriusan Presiden menanggulangi pandemi. Jadi kalau mau menanggulangi pandemi ya, ayo menanggulangi pandemi. Jangan hanya fokus di ekonomi," tegas dia.
Ketidakberhasilan pemerintah untuk menekan laju penyebaran COVID-19 juga membuat Pandu mempertanyakan kinerja Tim Satgas COVID-19 yang dulunya bernama Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
Menurut dia, tim tersebut tidak sesuai tupoksinya sehingga gagal menekan angka pandemi. Dia bahkan menilai, tim semacam ini tak perlu dibentuk karena pencegahan dan penanganan COVID-19 sebenarnya bisa dipimpin oleh Kementerian Kesehatan saja.
Hanya saja, hingga saat ini Kemenkes maupun pemerintah secara umumnya belum ada upaya serius, fokus, dan khusus dalam menanggulangi pandemi ini.
Saat ditanya adakah usulan atau saran bagi pemerintah agar pandemi ini cepat ditekan, Pandu ogah menjawab lebih jauh. Sebab, menurut dia, sudah banyak ahli maupun pakar yang memberikan saran terkait hal tersebut, tapi pemerintah malah justru berfokus pada perekonomian dibanding kesehatan.
"Saran saya cuma satu, prioritaskan penanggulangan pandemi. Pemerintah sudah di kasih saran tapi enggak mau menanggulangi dan yang dipikirkan hanya ekonomi," ujarnya.
"Ekonomi kan bisa diatur tapi yang enggak bisa diatur itu pandeminya," imbuh dia.
BACA JUGA:
Sebelumnya, anggapan pemerintah hanya berfokus pada perekonomian masyarakat bukan mengatasi pandemi COVID-19 juga disampaikan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM. Menurutnya, penanganan pandemi COVID-19 terkesan berorientasi kepada sektor ekonomi sejak awal.
Hal ini, sambung dia, sudah tampak sejak pandemi COVID-19 terjadi di dunia namun belum masuk ke Indonesia. Taufan mengatakan, ketika banyak negara menyusun kebijakan terkait untuk mencegah masuknya COVID-19, Indonesia justru tidak melakukannya.
Menurut dia, saat itu pemerintah justru mengambil kebijakan berlawanan dengan melakukan pendekatan perekonomian dan pariwisata.
Hal yang sama juga terjadi ketika pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Demi menjaga agar perekonomian tetap bergerak, pemerintah malah mengeluarkan beberapa peraturan seperti Surat Edaran Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Nomor 7 Tahun 2020 tentang permohonan izin kegiatan perindustrian di masa darurat kesehatan serta berbagai aturan lainnya yang cenderung mendukung gerak perekonomian.
"Semestinya kesehatanlah yang menjadi dasar dalam membuat kebijakan. Jadi ini kelihatan terbalik," kata Taufan dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube Humas Komnas HAM, Selasa, 28 Juli.
Diketahui, Kementerian Kesehatan pada Selasa, 28 Juli mencatat penambahan kasus harian COVID-19 di Indonesia mencapai 1.748 orang. Sehingga secara akumulatif kasus COVID-19 kini jumlahnya mencapai 102.051 orang.
Adapun provinsi dengan kasus baru terbanyak berada DKI Jakarta dengan 409 kasus baru dan total 19.995 kasus. Kemudian, Jawa Timur dengan 313 kasus baru dan total 21.125 kasus. Jawa Timur juga menjadi provinsi dengan akumulasi kasus terbanyak se-Indonesia.
Selanjutnya, Jawa Tengah miliki 185 kasus baru dengan total 8.870 kasus. Sulawesi Selatan dengan 132 kasus baru dan total 9.123 kasus. Jawa Barat dengan 128 kasus baru dan total 6.218 kasus. Lalu, Kalimantan Selatan memiliki 93 kasus baru dan total 5.782 kasus.