Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo sudah bolak-balik gregetan dengan luar biasa panjangnya 'perjuangan' investor yang mau investasi uangnya di Indonesia. Kalau tidak juga berubah, Jokowi khawatir makin sedikit investor yang mau tanamkan modalnya di sini.

Makanya Jokowi senang jumlah BUMN di Indonesia makin hari makin menciut. Lewat Menteri Erick Thohir, BUMN yang sebelumnya bisa punya anak hingga cicit itu, terus dirampingkan.

"Sebetulnya sudah saya perintahkan 7 tahun yang lalu untuk secepatnya menggabungkan, mengonsolidasikan, mereorganisasi dari BUMN-BUMN kita, yang menurut saya saat itu, sangat terlalu banyak. Dan tadi sudah disampaikan oleh Pak Menteri BUMN, ada 108, sekarang sudah turun menjadi 41. Ini sebuah fondasi yang sangat baik, kemudian diklasterkan, itu juga baik," ucap Jokowi kepada semua Dirut BUMN di Ballroom Hotel Meruorah Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu 16 Oktober kemarin.

Jokowi meminta BUMN itu seperti birokrasi. Karena BUMN sekarang sedang mengejar profesionalisme.

Jokowi berkisah kalau dia mendengar investor pembangkit listrik harus melewati 259 izin. Nama jenis-jenis izinnya bermacam-macam, mulai dari rekomendasi, serta pernyataan dan penelitian. Toh kata dia, semua penamaan itu merujuk pada hal perizinan.

"Dan itu jumlahnya 259 izin. Kalau dibawa (dalam) koper, mungkin 10 koper ada itu. Dan waktu yang diperlukan mencari izin itu bisa 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun. Ada yang 7 tahun mengadu ke saya. Nah, seperti ini yang harus dipangkas, enggak boleh, misalnya di PLN, sampai bertele-tele itu. Enggak bisa lagi," kata Jokowi.

"Siapa yang mau investasi kalau berbelit-belit seperti itu? Sudah di kementeriannya berbelit-belit, di daerahnya berbelit-belit, masuk ke BUMN-nya berbelit-belit lagi. Lari semua. Sehingga kalau yang lalu-lalu, BUMN-BUMN kan banyak, terlalu keseringan kita proteksi. Sakit, tambahi PMN. Sakit, suntik PMN. Maaf, terlalu enak sekali!" tegas dia.

"Dan akhirnya itu yang mengurangi nilai-nilai yang tadi saya sampaikan. Berkompetisi enggak berani. Bersaing enggak berani. Mengambil risiko enggak berani. Ya bagaimana profesionalismenya kalau itu tidak dijalankan? Jadi, tidak ada lagi itu yang namanya proteksi-proteksi lagi, sudah. Sudah, lupakan Pak Menteri, yang namanya proteksi-proteksi itu," tandasnya.