Begini Cara Dodi Alex Noerdin Terima Suap Proyek Insfrastruktur Pemkab Musi Banyuasin
Konferensi pers KPK dalam penetapan Bupati Musi Banyuasin (Muba) Dodi Reza Alex Noerdin sebagai tersangka kasus korupsi (Tangkapan layar Channel YouTube KPK RI)

Bagikan:

JAKARTA - KPK menetapkan Bupati Musi Banyuasin (Muba) Dodi Reza Alex Noerdin dan tiga orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek infrastruktur. Hal ini dilakukan usai operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat, 15 Oktober 2021.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, awalnya Pemkab Muba menggelar proyek yang dananya bersumber dari APBD Perubahan tahun anggaran 2021 dan bantuan keuangan provinsi.

Adapun empat proyek yang dimaksud adalah rehabilitasi daerah irigasi Ngulak III dengan nilai kontrak Rp2,39 miliar, peningkatan jaringan irigasi DIR Epil dengan nilai kontrak Rp4,3 miliar, peningkatan jaringan irigasi DIR Muara Teladan dengan nilai kontrak Rp3,3 miliar, dan normalisasi Danau Ulak Ria dengan nilai kontrak Rp9,9 miliar.

Dodi dan anak buahnya lalu melakukan rekayasa proses lelang perusahaan swasta yang melakukan konstruksi agar PT Selaras Simpati Nusantara memenangkan proyek tersebut.

"Diduga telah ada arahan dan perintah dari DRA (Dodi) kepada HM (Herman), EU (Eddi) dan beberapa pejabat lain di Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin agar dalam proses pelaksanaan lelangnya di rekayasa sedemikian rupa, di antaranya dengan membuat list daftar paket pekerjaan dan telah pula ditentukan calon rekanan yang akan menjadi pelaksana pekerjaan tersebut," kata Alexander di Gedung KPK, Sabtu, 16 Oktober.

Dalam dugaan kasus suap ini, Dodi telah menentukan dirinya mendapat 10 persen pemberian commitment fee, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Muba Herman Mayori mendapat fee 3 sampai 5 persen, dan PPK Dinas PUPR Kabupaten Muba Eddi Umari mendapat 2 sampai 3 persen, dan pihak terkait lainnya.

Untuk Dodi sendiri, ia menerima commitment fee sebesar Rp2,6 miliar dari Direktur PT Selaras Simpati Nusantara Suhandy.

"Sebagai realiasi pemberian komitmen fee oleh SUH atas dimenangkannya 4 proyek paket pekerjaan di Dinas PUPR tersebut, diduga SUH (Suhandy) telah menyerahkan sebagian uang tersebut kepada DRA (Dodi) melalui HM (Herman) dan EU (Eddi)," jelas Alexander.

Sampai akhirnya, KPK menerima informasi adanya dugaan penerimaan uang dari Suhandy kepada Dodi. Uang ditransfer dari perusahaan milik Suhandy kepada rekening bank salah satu keluarga Eddi.

Setelah uang masuk, Eddi melakukan tarik tunai dan menyerahkan uang kepada Herman untuk diberikan kepada Dodi.

KPK akhirnya menangkap Herman di salah satu tempat ibadah di Kabupaten Muba dan ditemukan uang Rp270 juta dengan dibungkus kantong plastik. Sementara, Dodi ditangkap di salah satu lobi hotel kawasan Jakarta.

"Dari kegiatan ini, Tim KPK selain mengamankan uang sejumlah Rp 270 juta, juga turut diamankan uang yang ada pada MRD (ajudan Bupati) Rp1,5 miliar," jelas Alexander.

Atas perbuatannya, Dodi dan anak buahnya selaku penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Lalu, Suhandy selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.