Dorongan Adaptasi Lembaga Peradilan Indonesia di Masa Pandemi COVID-19
Ilustrasi persidangan online (Image by Daniel Bone from Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir, pandemi COVID-19 ternyata turut berdampak pada berbagai aspek sosial, ekonomi hingga penegakan hukum. Hal ini terjadi seiring dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan untuk mencegah penularan virus corona. 

Beragam aktivitas mulai dari kegiatan belajar mengajar di sekolah, beribadah, membatasi penggunaan transportasi publik, hingga jalannya persidangan di masa pandemi jadi persoalan. Hal ini mendorong adaptasi dan bentuk kenormalan baru di masyarakat, tak terkecuali bagi proses penegakan hukum. 

Di mana sejak awal Juli, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung dan Kementerian Hukum dan HAM sepakat untuk melaksanakan persidangan secara online selama pandemi COVID-19. Sedikitnya 176.912 kali persidangan terkait perkara pidana telah disidangkan secara online

Menangapi situai kenormalan baru dari proses penegakan hukum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Dr. Lies Sulistiani, M.Hum menjelaskan satu permasalah terkait aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai pedoman dasar dalam proses pelaksanaan perkara pidana, KUHAP hanya mengatur hal-hal yang sifatnya 'normal'.

"Sementara pada masa pandemi Covid-19 ini dibutuhkan seperangkat peraturan yang dapat mengakomodir proses penyelesaian perkara pidana sesuai dengan azas yang berlaku dengan tetap mengikuti pedoman social dan psysical distancing," ujar Lies dalam keterangan pers yang diterima VOI, Kamis, 23 Juli. 

Banyak hambatan yang terjadi saat menggelar sidang perkara secara virtual. Dari sisi fasilitas, banyak ruang sidang yang belum ditata denga fasilitas telekonferensi. Jaringan internet juga banyak yang tidak stabil.

Minimnya sumber daya yang memiliki pengetahuan mumpuni di bidang penguasaan teknologi informasi juga menjadi hambatan. Di sisi lain, kemungkinan terjadinya peretasan persidagan sangat tinggi.

Pada sisi tersangka/terdakwa, hambatan yang terjadi di antaranya keabsahan barang bukti persidangan serta kendala proses pembuktian yang melibatkan banyak saksi dan juga alat bukti fisik yang dihadirkan dalam proses pembuktian.

"Oleh karena itu dengan melihat situasi kondisi saat ini diperlukan kesiapan aturan hukum baik PERMA atau melakukan revisi KUHAP dengan memperhatikan aspek prosedural, substansial dan petunjuk pelaksanan persidangan virtual bagi seluruh pihak," ujarnya.

Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan guna mendukung penegakan hukum pidana di masa Adaptasi Kebiasaan Baru, seperti Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tanggal 27 Maret 2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Kewenangan Kejaksaan di tengah pandemi Covid-19; serta Perjanjian Kerja Sama antara MA-Kejakgung-Kemenkumham, April 2020, tentang Pelaksanaan Persidangan melalui Telekonferensi.

Perihal Perjanjian Kerja Sama tersebut dilakukan mengingat KUHAP tidak mengatur secara eksplisit persidangan dengan cara telekonferensi. Meski demikian, metode telekonferensi sudah dilakukan dalam proses persidangan sejumlah kasus lampau di Indonesia.

“Proses pemeriksaan melalui telekonferensi tersebut merupakan terbosan inovatif dan progresif. Namun, harus selektif pada tahapan apa dan perkara apa saja yang dapat dilaksanakan secara virtual atau tidak,” ujar Lies.

Eli juga mengungkapkan, persidangan secara virtual pada dasarnya tetap harus memperhatikan ketentuan dalam KUHAP, antara lain Pasal 64 KUHAP, Pasal 13 UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hingga Pasal 25 UU Nomor 46/ 2009 tentang Pengadilan Tipikor yang intinya mengatur bahwa sidang pengadilan harus terbuka untuk umum dan merupakan hak seorang terdakwa untuk dapat diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

“Sementara pada Pasal 230 KUHAP: Hakim, PU dan PH sidang Pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang, dengan ketentuan pakaian sidang dan atribut masing-masing,” jelasnya.