JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan angka gangguan kecemasan yang dialami oleh masyarakat mengalami kenaikan sebesar 6,8 persen selama masa pandemi COVID-19.
“Penelitian terakhir yang telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menemukan kenaikan gangguan cemas sekitar 6,8 persen,” kata Subkoordinator Substansi Masalah Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Kemenkes dr Juzi Delianna, M.Epid dalam bincang-bincang Kesetaraan Dalam Kesehatan Jiwa Untuk Semua yang diikuti secara daring di Jakarta, dilansir Antara, Jumat, 8 Oktober.
Ia menyebutkan selain angka gangguan kecemasan, angka pada gangguan depresi ikut mengalami peningkatan sebesar 8,5 persen. Sehingga apabila melihat proyeksi jumlah penduduk di Indonesia, hal tersebut benar-benar membutuhkan penanganan yang serius.
Berdasarkan data Kemenkes sepanjang tahun 2020, sebanyak 18.373 jiwa mengalami gangguan kecemasan, lebih dari 23.000 mengalami depresi dan sekitar 1.193 jiwa melakukan percobaan bunuh diri.
Menurut dia peningkatan persentase gangguan kecemasan dan depresi dapat meningkat karena terjadi penurunan kunjungan rumah sakit dan hunian rawat inap sebelum pandemi COVID-19i. Namun ketika pandemi, pasien kembali mengalami fase kekambuhan.
BACA JUGA:
Berdasarkan data milik Persatuan Dokter Kesehatan Jiwa Indonesia (PDKJI) dalam lima bulan pertama pandemi COVID-19 disebutkan masalah psikologis terbanyak ditemukan pada usia 17 sampai 29 tahun dan penduduk lanjut usia (lansia) yang berusia di atas 60 tahun.
Ia menjelaskan pemikiran bunuh diri paling banyak dilakukan pada penduduk usia produktif. 15 persen memikirkan untuk mati setiap hari serta 20 persen memikirkan untuk mengakhiri hidup dalam beberapa hari dalam sepekan.
“Dari data tersebut menunjukkan, satu dari lima orang memiliki pemikiran tentang lebih baik mati,” kata Juzi Delianna.
Sementara itu Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Celestinus Eigya Munthe mengatakan untuk mengatasi masalah tersebut, pihaknya telah mengupayakan agar seluruh puskesmas dapat melakukan pelayanan kesehatan jiwa.
Namun kurang lebih dari 10.000 puskesmas di seluruh Indonesia, baru sekitar 6.000 puskesmas yang memberikan layanan kesehatan jiwa. Hal itu disebabkan karena beberapa faktor yakni kurangnya sumber daya manusia kesehatan dan kurangnya sarana prasarana yang memadai.
“Sehingga layanan kesehatan jiwa yang seharusnya dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan primer masih belum dapat kita laksanakan seluruhnya di seluruh rumah sakit,” katanya.
Ia menjelaskan walaupun belum semua fasilitas kesehatan menyediakan layanan itu, pelayanan kesehatan jiwa yang dilakukan di puskesmas dapat ditangani dan ditanggulangi pembiayaannya dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) milik BPJS Kesehatan.
Melalui JKN, kata dia, pasien dapat melakukan rujukan ke puskesmas. Apabila puskesmas ternyata tidak mampu menanggulangi masalah kesehatan jiwa, pasien dapat di rujuk ke rumah sakit jiwa terdekat atau rumah sakit umum yang melakukan pelayanan kesehatan jiwa.
Bila pasien telah dinyatakan stabil, maka pihak rumah sakit dapat merujuk kembali pasien yang dirawat ke puskesmas. Sehingga masyarakat dapat mengakses layanan pengambilan obat tanpa perlu menempuh jarak yang jauh ke rumah sakit untuk mengambil obat.
Ia mengatakan agar dapat mempermudah pelayanan kesehatan jiwa masyarakat di masa pandemi COVID-19, pihaknya telah menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan pasien secara lengkap di puskesmas.
“Kita juga mendorong saat ini hampir semua rumah sakit jiwa di Indonesia mempunyai aplikasi telekonseling sebagai upaya perpanjangan untuk memberikan layanan konseling kepada masyarakat,” demikian Celestinus Eigya Munthe.