Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengingatkan pembangunan infrastruktur di Tanah Air yang jadi fokus pemerintah harus dilaksanakan dengan baik dan jauh dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Hal ini disampaikan Alexander saat membuka diskusi Bincang Stranas PK Cegah Korupsi di Pengadaan Jasa Kontruksi yang dilaksanakan secara daring pada Rabu, 6 Oktober.

"Pembangunan infrastruktur dapat betul-betul dilaksanakan dengan menghindari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kita bekerja dengan baik sajalah," kata Alexander seperti yang ditayangkan di YouTube StranasPK Official.

Menurutnya, program pembangunan infrastruktur yang jadi fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini harus dijalankan dengan baik tanpa penyimpangan di sana-sini. Apalagi, anggaran untuk mendukung program ini jumlahnya tak sedikit bahkan mencapai ratusan triliun.

"Sayang sekali kalau pembangunan yang menghabiskan anggaran ratusan triliun justru banyak penyimpangan di sana-sini. Mudah-mudahan kita bisa bekerja dengan profesional dan berintegritas," tegasnya.

Namun, harapan ini tampaknya masih jauh. Penyebabnya, Alexander memaparkan kasus korupsi yang ditanganinya paling banyak adalah terkait pengadaan barang dan jasa.

Dia bahkan mengatakan sejak KPK berdiri yaitu 2004 hingga Juni 2021 lalu, dari 1.291 kasus korupsi yang ditangani kebanyakan terkait pengadaan infrastruktur.

"Terkait pengadaan di bidang konstruksi sepanjang tahun 2020 hingga Maret 2021, KPK telah menangani 36 kasus korupsi dengan berbagai modus seperti penyuapan, gratifikasi, nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) terlalu tinggi atau markup. Itu modus-modus dalam proses pengadaan barang dan jasa di bidang konstruksi," jelas Alexander.

Sehingga, ia berharap kedepan Kementerian PUPR dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) memperbaiki sistem pengadaan. Termasuk mengoptimalisasi penggunaan e-Katalog terhadap pekerjaan konstruksi dan menstandardisasi HPS.

"HPS ini sering tidak seragam padahal speknya sama tapi HPSnya beda-beda tergantung di daerah mana proyek itu dikerjakan. Ini tentu menjadi pekerjaan Kementerian PUPR untuk menstandardisasi HPS maupun kualitas proyek yang dikerjakan," pungkasnya.