Chatib Basri: Saat Ini, Perbankan Nasional Tak Bermasalah Soal Likuiditas
Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri. (Foto: Instagram @chatibbasri)

Bagikan:

JAKARTA - Penyaluran kredit korporasi oleh perbankan tidak berjalan lancar. Padahal pemerintah berharap dengan penyaluran kredit dapat membangkitkan ekonomi nasional di tengah pandemi COVID-19. Bahkan, pemerintah sudah turun tangan menambah likuiditas di bank pelat merah hingga mencapai Rp30 triliun.

Mantan Menteri Keuangan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Muhammad Chatib Basri mengatakan, saat ini perbankan saat sama sekali tidak punya persoalan dengan likuiditas. Menurut dia, kalaupun ada perbankan yang mengalami masalah tersebut, bukan karena terdampak pandemi COVID-19 melainkan sudah terjadi sebelum adanya virus ini.

"Persoalan di perbankan sekarang adalah credit crunch, bukan liquidity," katanya, dalam diskusi virtual, Senin, 20 Juli.

Credit crunch adalah situasi ketika perbankan enggan menyalurkan kredit karena tidak ada permintaan di pasar. Jika dipaksakan perbankan untuk tetap menyalurkan kredit ke korporasi, maka akan ada potensi kredit macet dan muncul masalah likuiditas pada 2021.

Lebih lanjut, Chatib mengatakan, dirinya pernah melakukan studi kuantitatif soal permintaan dan investasi pada 2016. Hasilnya menunjukan, bukan investasi yang mendorong konsumsi. Tapi sebaliknya, konsumsi yang mendorong investasi.

Menurut Chatib, hal ini yang menyebabkan pengusaha kini enggan menambah kredit. Sebab, Loan to Deposit Ratio (LDR) atau rasio pinjaman terhadap deposito menurun.

"Untuk apa saya minta kredit, saya sedang tidak butuh ekspansi," jelasnya.

Tak hanya itu, Chatib menilai, penyuntikan likuiditas ke perbankan saat ini juga kurang efektif untuk mendorong perekonomian. Apalagi, permintaan kredit juga masih lesu.

"Jadi upaya mendorong sektor perbankan dengan memberikan likuiditas mungkin tidak akan terlalu efektif," tuturnya.

Selain itu, Chatib mengingatkan, agar pemerintah dan bank berhati-hati pada tahun 2021 karena adanya kebijakan restrukturisasi kredit saat pandemi COVID-19.

Menurut Chatib, restrukturisasi membuat debitur mendapat keringanan dalam pembayaran kredit dan debitur dengan status kolektibilitas 1 dan kolektibilitas 2 dianggap lancar. Namun, lancar atau tidaknya debitur akan benar-benar terlihat setelah kebijakan restrukturisasi usai.

"Sampai nanti OJK mengakhiri relaksasi, pada saat itu kita tahu adanya kredit macet betulan atau tidak. Maka di situlah persoalan likuiditas, NPL, profitabilitas akan ada. Kita harus siap-siap di 2021," tuturnya.