Bagikan:

MATARAM - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengungkap peran dari mantan Direktur RSUD Lombok Utara berinisial SH, terkait kasus dugaan korupsi dalam pengerjaan proyek di RSUD Lombok Utara, yakni penambahan ruang operasi dan ICU, serta penambahan ruang IGD.

"Mantan direktur dalam kapasitasnya sebagai KPA (kuasa pengguna anggaran) mempengaruhi PPK (pejabat pembuat komitmen) dalam pengerjaan proyek," kata Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, dilansir Antara, Rabu, 29 September.

Adanya relasi dalam struktur jabatan itu diduga digunakan SH yang kini menjadi tersangka dalam kasus ini agar pelaksanaan proyek seolah-olah tidak ada yang bermasalah.

Masalah yang muncul dalam kasus ini juga terkait pembayaran pihak ketiga penyedia barang, antara lain satu unit alat sistem tata udara AHU/HVAC, HEPA Filter, Medium Filter, Remote Control, dan buku garansi.

Karena tak kunjung terbayarkan, sejumlah fasilitas itu diminta kembali pihak rekanan penyedia barang. Demikian juga dengan Hermetic Door dan pekerjaan pemasangan vynil. Sementara, termin pembayaran sudah dilaksanakan per Desember 2019 lalu.

Dalam kasus ini SH ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada pengerjaan tiga proyek di RSUD Lombok Utara.

Tiga proyek tersebut yakni penambahan ruang operasi dan ICU dikerjakan oleh PT. Apro Megatama yang berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan.

Sedangkan untuk pengerjaan proyek penambahan ruang IGD, dikerjakan oleh PT. Batara Guru Group dari Samarinda, Kalimantan Timur.

Untuk proyek penambahan ruang operasi dan ICU yang dikerjakan PT. Apro Megatama, nilai pekerjaan mencapai Rp6,4 miliar. Dugaan korupsinya muncul karena pengerjaannya molor hingga menimbulkan denda. Hal itu pun mengakibatkan muncul kerugian negara berdasarkan hasil audit, sebesar Rp742,75 juta.

Dalam proyek ini SH ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya. Mereka adalah pejabat pembuat komitmen berinisial EB, kuasa Direktur PT Apro Megatama berinisial DT sebagai pihak dari rekanan pelaksana, dan Direktur CV Cipta Pandu Utama berinisial DD, konsultan pengawas.

Kemudian pengerjaan proyek penambahan ruang IGD oleh PT. Batara Guru Group. Proyeknya dikerjakan dengan nilai Rp5,1 miliar. Dugaannya muncul usai pemerintah memutus kontrak proyek di tengah progres pengerjaan sehingga kerugian negara yang timbul mencapai Rp1,75 miliar.

Modus korupsinya, pekerjaan proyek tetap dinyatakan selesai meskipun diduga masih ada kekurangan volume pekerjaan.

"Proyek ini realisasinya hanya beton saja. Ada indikasi kekurangan volume pekerjaan," ucapnya.

Dalam penanganan kasus untuk proyek ini, Kejati NTB menetapkan SH sebagai tersangka bersama DKF, konsultan pengawas dari CV Indo Mulya Consultant, yang kini menjadi Wakil Bupati Lombok Utara.

Tersangka lainnya, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek berinisial HZ, dan kuasa direktur PT Batara Guru, MF.