JAKARTA - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengatakan, sanksi pidana dalam pelanggaran pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada) dalam praktiknya tidak efektif.
"Ternyata dalam praktiknya sanksi pidana ini tidak efektif," ujar Abhan, Rabu, 22 September.
Jika merujuk pada regulasi yang ada baik Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pilkada, terdapat 77 perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana.
Ada pun tindak pidana pemilu atau pilkada yang sering terjadi, yaitu dukungan palsu untuk paslon jalur perseorangan. Selanjutnya, dokumen atau keterangan palsu syarat pencalonan dan calon, ASN atau kepala desa melakukan perbuatan menguntungkan paslon
Ada juga mencoblos lebih dari satu kali, kampanye ditempat ibadah atau tempat pendidikan. Pidana lainnya yaitu soal politik uang atau mahar politik, penyalahgunaan fasilitas dan anggaran pemerintah untuk kampanye. Terakhir, mengubah perolehan suara tidak sesuai prosedur.
BACA JUGA:
Ketua Bawaslu menjelaskan, ketidakefektifan sanksi pidana tersebut lantaran harus ditempuh dengan proses yang sangat panjang. Karena itu, kata Abhan, ke depan pendekatan sanksi pidana sebaiknya diubah dengan pendekatan sanksi administratif.
Menurutnya, sanksi administrasi seperti diskualifikasi sebagai peserta yang paling ditakuti oleh para pasangan calon (paslon).
"Karena sanksi administratif itu yang membuat efek jera buat peserta ketika ada sanksi diskualifikasi, kalau pidana tidak membuat jera," jelasnya.
Abhan menambahkan, banyak norma yang mengatur tindak pidana pemilihan yaitu 68 norma dan diatur dalam 43 pasal. Pada Pemilu sebelumnya, puluhan pasal yang telah diatur UU tersebut ternyata hanya 25 persen yang aturannya bisa diaplikasikan.
"Selebihnya tidak bisa diterapkan. Inilah saya kira perlu ada pendekatan sanksi pidana ke sanksi administratif," kata Abhan.