Bagikan:

JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya akhirnya buka-bukaan. Dia membeberkan alasan pemerintah mengakhiri Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) antara Indonesia dan Kerajaan Norwegia tentang Kerja Sama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+).

"Ini ditandatangani pada bulan Mei 2010, jadi sebetulnya pada Mei 2020 itu sudah berakhir. Oleh karena itu kita sebetulnya sudah mempelajari dan sudah ada join consultative grup antara Indonesia dan Norwegia untuk mempelajari perkembangan selanjutnya," kata Siti dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI yang diikuti dari Jakarta pada Rabu 21 September.

Menurut Siti, selama proses tersebut dari Mei 2020 sampai dengan saat ini kedua negara tidak menemukan kesepakatan secara prinsip termasuk dalam insentif Result Based Payment atau pembayaran berdasarkan hasil.

Dia menjelaskan, terdapat beberapa isu seperti aturan main dengan Norwegia seharusnya sudah harus membayarkan insentif Result Based Payment sesuai dengan kerja sama tersebut.

"Tetapi di dalam interaksinya mempersyaratkan banyak hal termasuk bagaimana BPDLH dievaluasi, padahal itu Perpres. Bagaimana ketentuan-ketentuan tentang dana lingkungan juga dievaluasi menurut aturan mereka dan sebagainya," jelas Siti.

"Sehingga kita bisa melihat bahwa ada hal-hal yang sangat prinsip yang tidak ketemu oleh karena itu pemerintah memutuskan untuk tidak memperpanjang," tambahnya.

Dalam siaran pers Kemenlu, Jumat 10 September, keputusan tersebut diambil melalui proses konsultasi intensif. Selain itu mempertimbangkan tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran Result Based Payment (RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada tahun 2016/2017, yang telah diverifikasi lembaga internasional.

Pemutusan kerjasama REDD+, tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap komitmen Indonesia bagi pemenuhan target pengurangan emisi.

Indonesia telah mencatatkan kemajuan yg signifikan dalam memenuhi kewajiban Perjanjian Paris (Paris Agreement) yg telah diratifikasi pemerintah Indonesia, termasuk merealisasikan sasaran pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Capaian Indonesia antara lain dapat dilihat dari laju deforestrasi terendah selama 20 tahun yang dicapai dalam tahun 2020, serta penurunan signifikan luasan kebakaran hutan di Indonesia.

Janji Rp840 miliar

Sebelumnya Indonesia dianggap sudah berhasil menekan laju deforestasi dan degradasi hutan. Makanya Indonesia dijanjikan mendapat pembayaran kerja penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari Norwegia senilai 56 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau lebih dari Rp840 miliar.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada Mei lalu bilang, penyerahan dana ini akan dilakukan pada bulan Juni. Momen ini bertepatan dengan peringatan 10 tahun kebersamaan kedua negara menyepakati kerja sama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan (letter of intent/LOI) pada 2010.

''Diproyeksikan bulan Juni 2020 dana tersebut dibayarkan dengan skema Result Based Payment (RBP). Ini merupakan pembayaran pertama kalinya atas prestasi penurunan emisi karbon dari kehutanan tahun 2016/2017," kata Menteri Siti.

Siti mengungkap, penurunan emisi GRK Indonesia tahun 2016/2017 dilaporkan sebesar 4,8 juta ton CO2eq. Pengajuan resmi dilakukan pada Juni 2019 untuk RBP pertama dari REDD+, dan selanjutnya dilakukan verifikasi sesuai ketentuan MRV.

Setelah verifikasi oleh pihak Norwegia pada 1 November 2019 hingga Maret 2020, penurunan emisi tahun 2016/2017 adalah sebesar 11,2 juta ton CO2eq, yang dinilai lebih tinggi dari laporan semula sebesar 4,8 juta ton CO2eq.

Adapun harga per ton CO2eq sebesar 5 dolar AS. Besaran tersebut mengacu pada harga yang berlaku di World Bank tentang REDD+. Setelah pembayaran pertama, selanjutnya akan dilaksanakan pembayaran karbon atau RBP atas prestasi kerja tahun 2017/2018 dan seterusnya.