JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, menyampaikan pada dunia mengenai usaha deforestasi atau penghilangan hutan alam dengan cara penebangan berhasil ditekan dalam tiga tahun terakhir.
Keberhasilan deforestasi ini juga berimbas pada degradasi atau penurunan tingkat aneka ragam flora dan fauna. Keberhasilan ini membuat degradasi menurun.
Namun, keberhasilan ini tentu tidak datang begitu saja, tentunya dengan kerja keras. Dimana 10 tahun lalu, pada Mei 2010, Indonesia dan Norwegia menandatangani perjanjian bilateral untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.
Kerja sama ini diilhami oleh kerangka kerja Reducing Emissions form Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Plus di bawah the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
“Dalam hal ini Indonesia memiliki komitmen yang ambisius untuk mereformasi pengelolaan hutannya, dan Norwegia menjanjikan dukungan keuangan hingga 1 miliar dolar AS, yang sebagian besar akan dibayarkan berdasarkan hasil pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan gambut di Indonesia, yang telah diverifikasi," kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong dalam Konferensi Pers Kerjasama Indonesia-Norway terkait REDD+, Rabu 27 Mei.
Sebagai negara berdaulat, Indonesia dan Norwegia memiliki komitmen yang kuat untuk memerangi pemanasan global. Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi nasional yang ambisius. Kontribusi terbesar diharapkan dari pengurangan deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut secara signifikan.
Peran Norwegia ada dua, Bantuan keuangan, dan dukungan teknis dan ilmiah. Norwegia juga telah menetapkan target pengurangan emisi yang ambisius di dalam negeri dan bekerja sama dengan Uni Eropa.
Selama satu dekade terakhir, kedua negara telah bekerja tanpa lelah dengan semangat kemitraan. Kedua negara telah mendapat dukungan kuat dari komunitas, masyarakat sipil dan lembaga akademis di dalam negeri dan internasional, dan ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pemangku kepentingan yang terlibat.
“Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan yang kuat, dan meluncurkan sejumlah reformasi kelembagaan dan peraturan untuk meningkatkan tata kelola hutan di seluruh negeri. Tahapan-tahapan penting telah dilalui dengan mantap sepanjang jalan kemitraan kedua Negara," kata Alue.
BACA JUGA:
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman menambahkan, tentang keberhasilan pencapaian kesiapan REDD+ Indonesia. Moratorium penerbitan izin baru pengelolaan hutan alam primer dan lahan gambut yang dimulai pada tahun 2011 dan statusnya dipermanenkan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2019.
Moratorium lahan gambut, yang dimulai pada tahun 2017, untuk melindungi area lahan gambut yang luas, dan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada tahun 2016 dengan rencana untuk memulihkan 2 juta hektar lahan gambut terdegradasi.
Pada tahun 2018, moratorium kelapa sawit mengakhiri pembangunan kebun baru di lahan hutan dan menggeser fokus pemerintah dari ekspansi ke intensifikasi untuk mengamankan pertumbuhan di masa depan. Kebijakan Satu Peta (KSP), yang dikenal dengan One Map Policy, merupakan alat perencanaan tata ruang umum untuk seluruh Indonesia - dan semua tingkat pemerintahan.
Praktik pengelolaan hutan di tingkat lokal diperkuat melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Program Perhutanan Sosial, termasuk ribuan izin untuk petani. Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebuah direktorat jenderal khusus telah dibentuk untuk memerangi kejahatan hutan.
“Norwegia telah menyediakan dana dengan kepastian untuk kemitraan ini serta investasi hijau lainnya. Selain itu, upaya besar telah dilakukan untuk memperkenalkan "cara Indonesia" kepada mitra global dan masyarakat dunia. Indonesia telah bekerja keras untuk mempromosikan upaya perlindungan hutan tropis di forum internasional," kata Ruandha.
Tahun-tahun awal kemitraan didominasi oleh upaya untuk mendefinisikan tantangan yang ada, dan mengidentifikasi teknik yang diperlukan untuk mengatasinya. Selama kurun waktu itu, fokus kerja sama adalah pada peningkatan inventarisasi hutan dan kapasitas pemantauan, penguatan kesadaran dan keterlibatan masyarakat, pengembangan model bisnis yang berkelanjutan dan secara aktif berpartisipasi dalam negosiasi kesepakatan global tentang REDD+ dalam kerangka konvensi iklim. Penting untuk dicatat bahwa langkah mendasar ini merupakan elemen yang penting bagi keberhasilan yang sekarang muncul.
Penunjukan Siti Nurbaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Presiden Jokowi telah terbukti sebagai langkah yang sangat sukses. Selama lebih dari 5 tahun, ia telah berkampanye tanpa kenal lelah di seluruh negeri untuk menyampaikan informasi dan berkonsultasi dengan ribuan komunitas dan pejabat tentang perlunya reformasi kebijakan korektif.
Di bawah arahannya, "semua hal tentang REDD+" diletakkan di bawah satu payung, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, bersama dengan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum yang didirikan untuk memerangi kejahatan hutan. Jika kita melihat kembali prioritas kementerian dan kebijakan menteri selama beberapa tahun ini, tidaklah mengherankan jika pemerintah sekarang dapat menunjukkan penurunan emisi secara substansial.