Pembelaan dari Sejumlah Tokoh tentang Video Santri Tutup Kuping yang Dicap Radikal
Tangkap layar santri tutup kuping saat ada suara musik ketika mereka sedang menunggu antrian vaksinasi (Foto: Twitter @David_Wijaya03)

Bagikan:

JAKARTA - Di media sosial ramai diperbincangkan tentang video yang menampakkan sekelompok santri di sebuah ruangan tengah menunggu giliran vaksinasi. Di dalam ruangan terdengar suara musik dan para santri itu duduk sembari menutup telinga mereka. Tak ada penjelasan rinci di mana lokasi peristiwa dan darimana para santri berasal. 

"Masya Allah, santri kami sedang antre vaksin ... Qodratullah, di tempat vaksin ini diputar musik, Anda lihat jika santri-santri kami tengah menutup telinganya agar tidak mendengarkan musik ini," demikian terdengar suara pria perekam video itu.

Sejumlah pihak berkomentar miring atas prinsip dan keyakinan para santri, termasuk Deddy Corbuzier. Komentar Deddy terselip di unggahan Diaz Hendropriyono, yang turut mengunggah video viral para santri itu yang dibandingkan dengan orang berjubah menari seiring alunan musik yang terdengar.

"Sementara itu... Kasihan, dari kecil sudah diberikan pendidikan yang salah. Tidak ada yang salah untuk merasakan sedikit kesenangan," tulis Diaz di akun Instagramnya.

Deddy menyematkan komentar, "Mungkin mereka lagi pakai airpod. Terganggu... Ye kan."

Diaz kemudian membalas, "Pinteeeerrrr," dengan emotikon tepuk tangan.

Yenny Wahid, putri Presiden keempat RI yang juga mantan Ketum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, merespons unggahan Diaz. Dia meminta orang-orang tak seenaknya melabeli cap radikal kepada para santri yang menutup telinga saat mendengar musik.

"Yuk kita lebih proporsional dalam menilai orang lain. Janganlah kita dengan gampang memberi cap seseorang itu radikal, seseorang itu kafir dll," katanya dalam akun Instagram @yennywahid.

"Menyematkan label pada orang lain hanya akan membuat masyarakat terbelah. Mari kita belajar untuk lebih saling mengerti satu sama lain, dan itu bisa dimulai dengan memahami dan menerima bahwa nilai yang kita anut tidak perlu sama untuk bisa tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia. Buat adik-adik ma'had tahfidz, semangat terus ya dalam upaya menghafal Al Quran. Semoga Allah SWT memberikan barokah berlimpah untuk kalian semua," tulisnya.

Yenny mengatakan, ada dua catatan soal video tersebut. Pertama, dia merasa senang karena guru dari santri ini mengajak vaksinasi yang artinya ini memiliki tujuan melindungi diri dari ancaman COVID-19. 

"Dua, Menghafal Quran bukan pekerjaan yang mudah. kawan baik saya, Gus Fatir dari pesantren @ponpespi_alkenaniyah belajar menghafal AlQuran sejak usia 5 th. Beliau mengatakan bahwa memang dibutuhkan suasana tenang dan hening agar lebih bisa berkonsentrasi dalam upaya menghafal Quran. Jadi kalau anak-anak ini oleh gurunya diprioritaskan untuk fokus pada penghafalan Quran dan diminta untuk tidak mendengar musik, itu bukanlah indikator bahwa mereka radikal," ujarnya. 

Sebelum Deddy dan Diaz, pengguna media sosial dengan pengikut 1,1 juta, Denny Siregar tak absen menarasikan kenyinyirannya. Di akun Instagramnya, mengunggah video yang mirip dan memberikan keterangan, "Kalo gua petugasnya, langsung gua setelin mereka Metallica. 'Exit light.. enter nightttt !'"

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menegaskan sikap para santri lumrah. Jadi bukan gambaran radikalisme sebagaimana dituduhkan banyak orang.

"Anak santri ini memang dijaga betul hapalan Alqurannya, Jangan sampai mendengar hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi hapalan. Salah satunya musik. Suara-suara, ya, enggak hanya musik saja," tutur Wakil Sekjen MUI M Ziyad.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Suprapto turut menyoroti sikap intoleran yang ditunjukkan Deddy, Diaz, Denny, dan Eko. Bukan apa-apa. Semua figur publik itu adalah pihak yang kerap bersuara soal toleransi dan keberagaman. Tapi nyatanya mereka tak benar-benar paham apa itu toleransi. Sebaiknya mereka belajar dari para santri.

"Jika kita saling memahami, memberikan fungsi, kehidupan manusia bisa sangat nyaman. Namun tidak semua orang mau atau bisa take and give. Kita mengambil sesuatu, meratakan sesuatu dari orang lain, tetapi seharusnya juga bisa 'memberi' maksudnya memberi makna atau maklum yang dilakukan orang lain sepanjang tidak mengganggu kita," tutur Suprapto, dihubungi VOI, Selasa, 14 September.