Cara Belanda Obati Duka Perang Dunia Kedua
Ereveld Menteng Pulo (Diah Ayu Wardani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Perang dunia kedua menebar duka ke penjuru dunia karena menewaskan lebih dari 62 juta orang, termasuk Belanda yang kala itu menjajah Indonesia. Pemerintah Belanda punya cara sendiri mengobati duka mereka. 

Mereka mendirikan 22 pemakaman kehormatan pertama korban perang dunia kedua yang tersebar di Indonesia. Waktu berselang, beberapa makam disatukan hingga menyisakan 7 makam yang hanya tersebar di Pulau Jawa. 

Saat ini, ketujuh lokasi makam menjadi milik Kedutaan Belanda di Indonesia sebagai tanah wakaf pemerintahan Hinda Belanda zaman dulu. Makam ini dikelola oleh yayasan pemakaman korban perang Oorlogs Graven Stichting (OGS). 

Salah satu makam itu adalah Ereveld Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Lokasinya cukup unik. Berada di sekitaran pusat kota, namun "disembunyikan" oleh gedung-gedung perkantoran maupun apartemen yang mengelilinginya. 

Ereveld yang  "disembunyikan" gedung-gedung perkantoran maupun apartemen yang mengelilinginya (Diah Ayu Wardani/VOI) 

Kami mengunjungi Ereveld Menteng Pulo sekitar pukul 10.00 WIB, ditemani oleh pemandu bernama Selma Isnaini. Ketika membuka gerbang makam, pandangan pertama yang terlihat adalah patok-patok nisan berwarna putih yang tersebar di hamparan rumput hijau. 

Tak satu pun bulu kuduk yang berdiri ketika kami melihat hamparan makam. Memasuki jalan utama, pohon cemara yang lebih pendek dari umumnya menyambut kami. Maklum, udara Jakarta memang tak cocok untuk pohon ini. 

Potongan pada rumput yang membatasi antarblok makam tampak simetris. Berbagai tanaman menghiasi sudut area makam. Kata Selma, pengelola selalu memangkas rumput 3 hingga 7 hari sekali. 

"Pengelola di sini memang sangat memperhatikan kerapian dan perawatan makam," kata Selma. 

Korban perang yang berbaring di Ereveld Menteng Pulo berasal dari berbagai latar belakang profesi. Sekitar 80 persen di antaranya merupakan warga sipil terdampak, sisanya adalah jenderal, prajurit belanda, perawat, hingga Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) atau tentara berdarah Indonesia yang berpihak pada Belanda. 

Potongan pada rumput yang membatasi antarblok makam tampak simetris. Berbagai tanaman menghiasi sudut area makam (Diah Ayu Wardani/VOI)

Ada empat jenis nisan di Ereveld Menteng Pulo. Nisan berbentuk salib untuk jenazah yang beragama Kristen atau Katolik, nisan dengan tiga tonjolan di atas untuk agama Islam, nisan berbentuk bintang Daud untuk agama Yahudi, dan nisan dengan bentuk setengah lingkaran untuk agama Buddha. 

Tidak semua jenazah teridentifikasi pascaperang di abad 19 kala itu. Karenanya, nisan mereka tertera tulisan "onbekend" yang artinya tidak dikenal. Selain itu, terdapat makam massal, yang berisi sejumlah jenazah dengan bagian tubuh yang tidak utuh lagi. 

Tak hanya itu, terdapat beberapa makam anak kecil yang disemayamkan di Ereveld Menteng Pulo. Mereka adalah tawanan kamp tentara Jepang. 

Saat Perang Dunia Kedua, setelah Jepang dipaksa mundur karena bom Hiroshima dan Nagasaki, Belanda berhasil merebut kembali tawanan perempuan dan anak-anak dari kamp Jepang. 

Nisan mereka tertera tulisan "onbekend" yang artinya tidak dikenal (Diah Ayu Wardani/VOI)

Filosofi derajat sama rata di alam baka

Secara kasat mata, semua bentuk makam tampak serupa. Tak ada pengkhususan salah satu makam. Padahal, jika ditelisik, ada salah satu makam panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia pada 1946 hingga 1949, dia adalah Jenderal Simon Hendrik Spoor. 

Spoor adalah orang meletakkan batu pertama pembangunan Ereveld Menteng Pulo pada 8 Desember 1947. 

"Spoor adalah salah satu jenderal tertinggi Belanda dengan tentara yang berjumlah 8000. Dia adalah pemimpin Agresi Militer II Belanda yang hampir berhasil merebut kembali Indonesia," tutur Selma. 

Ada satu falsafah yang dipegang Spoor kala membangun makam kehormatan ini. Bagi Spoor, kulit hitam, kulit putih, jenderal, bangsawan, warga, semua derajat akan sama ketika sudah meninggal. Hingga akhirnya, Spoor meninggal pada 23 Mei 1949 dan ikut menghuni Erevald Menteng Pulo. 

makam panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia pada 1946 hingga 1949, dia adalah Jenderal Simon Hendrik Spoor (Diah Ayu Wardani/VOI)

Selain Spoor terdapat pula makam Brigadir AWS Mallaby. Mallaby merupakan pimpinan pasukan prajurit Punjab 49 yang berpengaruh pada pertempuran 10 November di Surabaya. Pasukan ini adalah tentara sekutu (Inggris) yang juga merekrut warga jajahan mereka, seperti India, Pakistan, dan Sri Langka. 

Makam Mallaby berada pada blok makam sekutu. Meski dalam satu kompleks dengan Erevald, tapi blok makam ini dikelola oleh Kedutaan Inggris. 

Bentuk nisan makam Inggris ini berbeda dengan makam Belanda. Makam-makam ini tak berupa patok, melainkan marmer prasasti dengan posisi horizontal. Terdapat nama, pangkat pekerjaan, tanggal kematiannya. Penanda agama dilihat dari tanda salib, bintang Daud, atau huruf arab di nisan.

Makam Malaby tak ditemukan oleh sekilas pandangan mata. Mengingat, makam tersebut berada di pinggir kiri dan agak menjorok kebelakang. 

Makam Brigadir AWS Mallaby (Diah Ayu Wardani/VOI)

Makam abu dalam tabung

Pada sisi kanan kompleks makam, ada bangunan bernama Columbarium. Columbarium menyimpan 742 guci abu militer Belanda yang gugur sebagai tawanan perang di kamp kerja paksa Jepang selama perang Dunia II. 

"Mereka meninggalnya di Jepang. Karena ingin dibawa pulang, mayatnya dikremasi untuk memudahkan pengiriman ke sini sudah dibikin bentuk tabung," jelas Selma. 

Sekali lagi, tak ada kesan seram ketika berada di sini. Mengingat, terdapat kolam besar di tengah-tengah yang dihiasi dengan bunga teratai di permukaan. Karenanya, berdiam diri di tempat ini tetap terasa menyejukkan.

742 guci abu militer Belanda yang gugur sebagai tawanan perang di kamp kerja paksa Jepang selama perang Dunia II (Diah Ayu Wardani/VOI)

Di sebelahnya, terdapat gereja. Dulunya, gereja ini sering dijadikan tempat upacara sebelum jenazah dimakamkan. Sekarang, hanya dijadikan tempat bagi pengunjung yang hendak memanjatkan doa.

Di dalam gereja terdapat salib kayu besar. Salib yang dibuat dari bantalan rel kereta api itu dibuat untuk mengenang korban perang yang dipaksa Jepang membangun jalur kereta api di Myanmar (dulu bernama Burma). 

Dulunya, gereja ini sering dijadikan tempat upacara sebelum jenazah dimakamkan (Diah Ayu Wardani/VOI)

Setiap tahun, Kedutaan Belanda menggelar peringatan tahunan di Erevald Menteng Pulo. Pada tanggal 15 Agustus yang bertepatan dengan hari berakhirnya perang dunia kedua, Kedutaan Belanda dan sejumlah keluarga korban perang datang ke Ereveld Menteng Pulo untuk melakukan upacara.