Bagikan:

JAKARTA - Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) menilai industri baja di Indonesia sebenarnya sudah mampu mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Bahkan, kualitas baja produksi dalam negeri dinilai lebih baik ketimbang baja hasil impor.

Sekretaris Jenderal BPP GAPENSI Andi Rukman Nurdin mengatakan, Indonesia sedang sibuk membangun infrastruktur saat ini, namun lupa mendukung industri bajanya. Hal ini yang selalu dikeluhkan pengusaha kontruksi adalah produksi baja yang diterima tidak berlabel standar nasional Indonesia (SNI).

"Kebutuhan kita untuk industri baja ini 15 hingga 20 juta per metrik ton kita mampu. Mampu sekali melakukan itu. Dengan catatan pemerintah tegas bagaimana memproteksi daripada pemain-pemain baja ini untuk menutup keran impor," tuturnya, dalam diskusi virtual, Kamis, 9 Juli.

Andi mengatakan, dari kualitas produk hasil produksi dalam negeri jauh lebih baik dibanding baja yang didatangkan dari China, Vietnam maupun Thailand. Namun, dari segi harga, kedua negara ini jauh lebih unggul. Alasan harga ini yang membuat pengusaha lebih memilih baja impor.

Lebih lanjut, Andi mengatakan, Indonesia juga mampu bersaing harga dengan cara menggenjot produksi. Sehingga, dapat membuat harga jauh lebih murah dari saat ini.

"Produksi kita jauh lebih baik. Kita pun harus berkompetisi bersaing harga. Kita punya Krakatau Steel yang cukup luar biasa, punya Gunung Garuda. Tetapi kenapa kebijakan impor ini masih dibuka? Ini menjadi persoalan," jelasnya.

Namun, Andi tak menampik, bahwa tak semua baja dapat diproduksi di Tanah Air. Masih ada beberapa yang memang harus impor. Meski begitu, secara perlahan barang-barang harus lebih banyak diproduksi di dalam negeri.

"Saya berharap ke Pak Dirjen (ILMATE) Kemenperin bahwa ada memang produk-produk yang kita membutuhkan impor seperti rel Kereta Api kita masih membutuhkan impor tapi kalau hal lain bisa kita produksi, Krakatau Steel mampu," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang 3 BPP HIPMI Perdagangan, Perindustrian, dan ESDM sekaligus Direktur Gobel Internasioanal Rama Datau mengatakan, pandemi COVID-19 membuat industri terpukul. Ditambah lagi dengan diterapkannya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat kegiatan ekonomi terhenti sehingga demand di pasar sangat kurang.

"Banyak orang bilang industri baja ini adalah mother of industry yang men-support industri lainnya. Jadi memang harus diperhatikan sama-sama. Terlebih kita lihat industri baja itu banyak gempuran dari baja-baja impor. Mungkin bisa membantu memproteksi industri baja ke depan dari produk-produk impor," ujar Rama.

Sekadar informasi, berdasarkan data badan pusat statistik (BPS) impor besi baja per 2019 besarannya mencapai Rp753 triliun. Hal ini karena industri baja ini adalah induk dari segala macam industri (mother of industry). Kondisi ini dianggap memprihatinkan, karena Indonesia punya potensi sumber biji besi yang luar biasa.