Mempertanyakan Klaim Kementan tentang Kalung Anti COVID-19 Sementara Penularannya Lewat <i>Droplet</i>
Kalung anti COVID-19 yang dibuat oleh Kementerian Pertanian (Foto: Website Kementerian Pertanian)

Bagikan:

Jakarta - Kalung anti COVID-19 buatan Kementerian Pertanian (Kementan) dipertanyakan manfaatnya, salah satunya oleh epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman. Dia mengaku bingung, bagaimana sebuah kalung berbahan dasar daun kayu putih atau eucalyptus yang menggantung di leher dianggap bisa menangkal COVID-19. 

Dicky menyebut penyebaran virus corona ini bisa terjadi melalui droplet maupun aerosol. Selain itu, virus ini juga bisa menyebar melalui sentuhan tangan di bagian mata, hidung, dan mulut.

"Jadi kalau letaknya diklaim sesuatu yang ada di leher kemudian bisa memproteksi, itu relevansinya sangat lemah. Relevansi dengan mekanisme penularan," kata Dicky saat dihubungi VOI, Selasa, 7 Juli.

Dia tak menampik, kayu putih atau eucalyptus memang memiliki kandungan antivirus tapi bukan untuk COVID-19. Sehingga, klaim kalung buatan Balitbangtan ini bisa menangkal COVID-19 dianggapnya masih sumir dan butuh diteliti lebih lanjut.

"Memang eucalyptus itu atau daun kayu putih punya sifat antivirus. Tapi yang sudah terkonfirmasi dalam riset itu antivirus yang bukan untuk COVID-19," tegasnya.

Diminta lakukan uji klinis dan tak asal klaim

Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta Kementerian Pertanian untuk tak asal klaim mengenai manfaat dari penemuan terbaru mereka. Dia meminta penemuan ini perlu mengikuti protokol pengujian atau uji klinis.

"Untuk menghindari kesan tentang klaim sepihak, produk antivirus corona dari Kementan itu sebaiknya mengikuti protokol pengujian atau uji klinis untuk produk obat dan herbal termasuk pengujian khasiat pada manusia," kata Bamsoet dikutip dari keterangan tertulisnya.

Politikus Partai Golkar ini mengatakan, Kementan harus melibatkan pihak lain dalam pengujian untuk memperkuat klaim mereka terhadap produk anti COVID-19. "Untuk kepentingan uji klinik itu, sangat relevan jika Kementan RI bersinergi atau bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)," ujarnya.

"Sebagai obat atau herbal produk baru, tahap pengujiannya pun harus melibatkan pihak lain yang relevan," imbuhnya.

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS Hamid Noor Yasin menganggap, upaya Kementan ini terlalu terburu-buru karena kalung ini diklaim mampu menyembuhkan COVID-19 padahal belum ada uji klinis.

"Upaya Kementan ini terlalu terburu-terburu dalam merilis produk kalung aromaterapi yang masih tergolong jamu, bukan obat. Menjadi persoalan sudah ada klaim dapat menyembukan COVID-19. Tanpa penjelasan memadai, banyak pihak menyangka klenik atau jimat," ungkap Hamid dikutip dari situs DPR RI.

Anggota Komisi IX DPR RI Nety Prasetiyani meminta pemerintah dalam hal ini Kementan tidak gegabah. Dia ingin pemerintah melakukan uji saintifik secara mendalam sebelum dilakukan produksi secara massal. Apalagi hal itu tentunya berkaitan dengan anggaran yang besar.

Menurut dia, sebaiknya dana itu digunakan untuk keperluan yang sudah nyata terkait penanganan COVID-19. Bukan kegiatan yang nantinya akan merugikan keuangan negara di tengah kondisi ekonomi yang tidak bagus.

"Jangan sampai pemerintah blunder dalam menggulirkan kebijakan terhadap kalung antivirus ini yang berpotensi pada kerugian keuangan negara terkait proses produksi secara massal," kata Netty kepada wartawan di Jakarta, Senin, 6 Juli.

Kata dia, daripada membuang anggaran untuk memproduksi produk yang belum teruji secara ilmiah, Netty menyarankan pemerintah memfokuskan anggaran yang ada untuk hal yang lebih mendesak dalam penanganan COVID-19, seperti pengadaan PCR test, reagen, dan sejenisnya.

"Termasuk fokus pada industrialisasi alat kesehatan hasil inovasi yang sudah terbukti dan dibutuhkan oleh masyarakat seperti ventilator murah buatan anak bangsa dan inovasi lainnya," tegas Netty. 

Klaim Kementan

Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memperkenalkan kalung yang diklaim anti COVID-19. Kalung berisi eucalyptus atau kayu putih diklaim dapat membunuh 42 persen virus corona jika digunakan selama 15 menit dan 80 persen virus corona digunakan selama 30 menit.

"Ini antivirus hasil Balitbangtan, eucalyptus, pohon kayu putih. Dari 700 jenis, 1 yang bisa mematikan corona hasil kita dan hasil lab ini untuk antivirus, dan kita yakin. Bulan depan ini sudah dicetak dan diperbanyak," ungkap Yasin, Jumat, 3 Juli.

Kementan juga menyebut dirinya telah mendapatkan hak paten terkait antivirus berbasis eucaplytus ini. Dikutip dari websitenya, selain mematenkan produk tersebut Kementan juga menggandeng PT Eagle Indo Pharma untuk pengembangan dan produksinya. 

Kepala Badan Litbang Pertanian Fadjry Djufry mengatakan penandatangan ini merupakan langkah pemerintah untuk menyikapi pandemi ini. Selain itu, langkah ini diharap jadi bagian dari upaya pemerintah mendukung karya anak bangsa.

"Para peneliti di Balibangtan ini juga bagian dari anak bangsa, mereka berupaya keras menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk bangsanya. Semoga hal ini mampu menjadi penemuan baik yang berguna bagi kita semua," ungkapnya.

Penemuan itu, kata Fadjry, telah disimpulkan melalui uji moleculer docking dan uji in vitro di Laboratorium Balitbangtan. Kemudian, bahan dasar antivirus yang berasal dari Eucalyptus selama ini dikenal mampu bekerja melegakan saluran pernapasan serta memiliki fungsi lain seperti menghilangkan lendir, pengusir serangga, disinfektan luka, penghilang nyeri, menghilangkan mual, dan mencegah penyakit mulut.

Selain itu, minyak atsiri eucaplytus citridora bisa menjadi antivirus terhadap virus avian influenza (flu burung) subtipe H5N1, gammacorona virus, dan beta corona virus.

"Ini bukan obat oral, ini bukan vaksin, tapi kita sudah lakukan uji efektivitas, secara laboratorium secara ilmiah kita bisa buktikan, paling tidak ini bagian dari upaya kita, minyak eucalyptus ini juga sudah turun menurun digunakan orang dan sampai sekarang tidak ada masalah, sudah puluhan tahun lalu orang mengenal eucalyptus atau minyak kayu putih, meskipun berbeda sebenarnya, tetapi masih satu famili hanya beda genus di taksonomi," pungkas Fadjri.