Bagikan:

JAKARTA - Banjir dan tanah longsor yang dipicu hujan lebat berhari-hari terjadi di Wilayah Kyushu, barat daya Jepang, Minggu, 5 Juli. Bencana tersebut menyebabkan 35 orang tewas dan membuat kendaraan serta banyak rumah di sepanjang Sungai Kuma terendam.

Atas peristiwa itu, otoritas setempat bergerak cepat menyelamatkan orang di wilayah Kumamoto. Empat puluh ribu tim penyelamat yang terdiri dari pasukan pertahanan, penjaga pantai, serta pasukan pemadam kebakaran turut dilibatkan. Mereka juga menggerakkan banyak helikopter dan perahu untuk mendukung upaya penyelamatan.

Melansir Associated Press, setidaknya 51 orang berhasil diselamatkan, termasuk tiga orang yang menderita hipotermia. Mereka yang selamat langsung dibawa ke rumah sakit guna mendapat perawatan lebih lanjut, Minggu sore.

Salah satu tim penyelamat, Shigemitsu Sakoda yang melakukan upaya penyelamatan di fasilitas pelayanan panti jompo, mengatakan banjir telah mendominasi lantai pertama ketika mereka tiba di lokasi. Supaya dapat masuk, mereka terpaksa merusak jendela.

"Jadi kami menghancurkan jendela dengan palu untuk masuk," katanya kepada penyiar Jepang NHK.

Tim penyelamat langsung naik ke atas atap untuk menyelamatkan mereka yang berhasil selamat. "Sayangnya, beberapa warga tidak bisa sampai ke lantai dua," kata Sakoda.

Banjir mereda

Ketika banjir mulai mereda di beberapa bagian Kumamoto, terekam banyak mesin penjual otomatis dan mobil-mobil berserakan di jalan berlapis lumpur. Meski begitu, beberapa warga tampak mencoba kembali ke rumah untuk membesihkan dan merapikan perabot.

Banjir juga memutus jalur listrik dan komunikasi. Akibatnya, tim penyelamat kesulitan melakukan pencarian dan penyelamatan.

Meski telah mereda, curah hujan masih turun di Kumamoto. Karenanya, pejabat setempat memperingatkan warga untuk mengevakuasi diri ke tempat aman karena tanah longsor sewaktu-waktu dapat mengancam.

Lebih dari dua ratus ribu penduduk di Prefektur Kumamoto telah didesak untuk mengungsi setelah hujan deras pada Jum’at dan Sabtu. Tetapi, evakuasi itu tak wajib dan banyak di antaranya yang memilih untuk tetap tinggal di rumah.

Kebanyakan penolakan evakuasi terjadi karena kekhawatiran mereka akan penularan COVID-19. Padahal, pejabat setempat telah menjamin tempat penampungan dilengkapi dengan protokol pencegahan virus dari Wuhan.