JAKARTA - Dampak dari penggusuran paksa yang dilakukan oleh Satpol PP dan aparat kepolisian terhadap warga Tamansari Bandung, Jawa Barat, menuai simpati publik. Solidaritas dukungan untuk warga daerah tersebut juga semakin besar. Otoritas perlu waspada.
Pengamat kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukmito memandang gerakan dukungan yang ditujukan kepada warga Tamansari bisa saja meluas hingga menjadi gerakan massa.
Meski tak terlihat potensi perluasan konflik skala nasional, Bambang menyebut potensi perluasan konflik sangat mungkin terjadi dalam skala lokal --di Bandung dan sekitarnya. Dampak perluasan konflik, menurut Bambang akan sangat dipengaruhi oleh isu-isu yang terkait dengan aksi represif aparat terhadap sejumlah warga Tamansari.
"Iya, akan meluas. Saya kira terlalu jauh jika diartikan akan sampai dalam isu nasional. Karena sifatnya sangat lokal sekali," katanya saat dihubungi VOI, di Jakarta, Jumat, 13 Desember.
Seperti diketahui, penggusuran permukiman di RW 11, Kelurahan Tamansari, Kota Bandung kemarin diwarnai bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan. Buntut bentrokan tersebut, kepolisian menangkap sejumlah orang yang merupakan masyarakat yang bersimpati terhadap korban gusuran.
Sebaran isu dan gambar terkait aksi represi kepolisian terhadap masyarakat beredar dalam dua hari belakangan. Dalam beberapa video terlihat bagaimana polisi menembakkan gas air mata untuk mengurai bentrokan. Tak cuma itu. Beberapa video viral juga memperlihatkan Satpol PP dan aparat kepolisian memukuli warga secara brutal.
Aparat melakukan kekerasan kepada warga pic.twitter.com/nmPIOIKc30
— N- (@kochengmerah) December 12, 2019
Antisipasi perluasan konflik
Bambang berujar, pihak kepolisian harus segera mengantisipasi semakin meluasnya gerakan solidaritas tersebut. Hal ini sangat penting untuk menghindari kerusuhan yang mungkin saja terjadi. Caranya, tentu saja dengan menindak tegas para anggota kepolisian yang terlibat dalam aksi penganiayaan warga.
"Agar tidak meluas makanya pimpinan kepolisian harus melakukan tindakan tegas pada anggotanya yang keluar dari SOP. Dan itu harus ditunjukkan kepada masyarakat bahwa sanksi pada anggota yang melakukan pelanggaran benar-benar dilakukan. Harus terbuka juga," katanya.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa turut mengkritik cara kepolisian dan satpol PP dalam menangani penggusuran rumah warga Tamansari. Desmond menilai, seharusnya kepolisian bersikap lebih lembut bukan justru sebaliknya mempertontonkan kekerasan di muka publik.
Desmond yang mengaku sudah menonton video penggusuran tersebut mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan polisi pada warga. Bagi Desmond, jelas. Polisi seharusnya bekerja untuk rakyat, bukan untuk pengusaha dan kepentingan pemodal.
"Masyarakat yang tidak bawa senjata, tidak melawan pun kok digebuk? Saya kecam tindakan kepolisian seperti ini. Wajah kepolisian kan tidak seperti ini harusnya. Ada apa? Persoalannya polisi melindungi siapa? Melindungi pengusaha, pemerintahan dalam rangka penggusuran? Kalau itu wajah polisi rusak," katanya di Gedung DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 13 Desember.
Politikus Gerindra itu menyayangkan peristiwa yang terjadi hanya beberapa hari setelah peringatan hari HAM se-dunia 10 Desember lalu. Bagi Desmond, kepolisian seharusnya menunjukkan wajah Polri yang berubah untuk mendukung pemerintahan yang baik, damai dan tidak ada konflik.
"Ya harusnya bikin wajah teduh. Agar pemerintahan Pak Jokowi lebih tenang. Bukan mempertontonkan hal-hal yang keras kaya gini," jelasnya.
Aktivis HAM 98 ini protes keras kepada Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Rudy Sufahriadi yang tak berhasil melakukan penggusuran secara humanis. Menurut dia, kasus ini harus ditangani Kapolri Jenderal Pol Idham Azis. "Iya harus dievaluasi, Kapoldanya harus turun. Harus diganti oleh Idham," ucapnya.
Menurut Desmond, saat rapat kerja antara Komisi III dengan Kapolri, pihaknya akan menanyakan mengenai kekerasan yang terjadi saat penanganan penggusuran di Tamansari, Bandung.