JAKARTA - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengingatkan jajaran kejaksaan untuk menerapkan hukum berdasarkan hati nurani.
Menurut Burhanuddin, telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif. Ini menjadi tantangan bagi para jaksa untuk mengubah cara pandangnya sebagai aparat penegak hukum.
"Hati nurani haruslah menjadi dasar pertimbangan setiap pegawai kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan serta dalam mengambil keputusan dan hal ini menjadi atensi khusus saya," ujar Burhanuddin dikutip Antara, Rabu, 1 September.
Burhanuddin ingin para jaksa mewujudkan keadilan hukum yang hakiki dan lebih memanusiakan manusia di hadapan hukum. Jangan ada lagi kasus, dimana terkesan aparat penegak hukum telah tega menghukum masyarakat kecil dan orang tua renta atas kesalahannya yang dipandang tidak terlalu berat.
"Maka penerapan hukum berdasarkan hati nurani adalah sebuah kebutuhan dalam sistem peradilan pidana Indonesia," katanya.
Kejaksaan telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai bentuk kristalisasi penerapan hukum berdasarkan Hati Nurani.
BACA JUGA:
Selain itu, dua dari tujuh Perintah Harian Jaksa Agung Tahun 2021 yang disampaikan pada Hari Bhakti Adhyaksa ke-61 menjadi pengingat bagi seluruh pegawai kejaksaan, yakni "Gunakan hati nurani dalam setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan, serta perintah untuk "Jaga marwah institusi dengan bekerja secara cerdas, integritas, profesional dan berhati nurani".
"Kejaksaan adalah man of law. Pejabat yang paham dan mengerti bagaimana hukum itu diterapkan. Saya yakin jika kita telah cermat dalam membaca kelengkapan formil dan materiil serta konsisten menggunakan hati nurani sebagai dasar pertimbangan dalam setiap proses penuntutan, Kejaksaan akan mampu menghadirkan keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak," ujar Burhanuddin.
Dalam paparannya, Jaksa Agung juga menyampaikan hasil evaluasi sejak diberlakukannya keadilan restoratif tanggal 22 Juli 2020 sampai dengan tanggal 1 Juni 2021, berdasarkan laporan yang diterima oleh Jaksa Agung RI, terdapat sebanyak 268 perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan keadilan restoratif.
Ada pun tindak pidana yang paling banyak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif adalah tindak pidana penganiayaan, pencurian, dan lalu lintas.
"Data ini seharusnya membuat jaksa tersentak karena ternyata selama ini banyak pencari keadilan dan banyak perkara-perkara seperti Nenek Minah dan Kakek Samirin yang tidak diekpos oleh media yang telah mendapat perlakuan hukum yang tidak pantas dan tidak seyogianya diteruskan ke pengadilan," ungkap Burhanuddin.