DPR Minta Mendikbud Tak Terburu-buru Hapus UN
Rapat Komisi X dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar rapat kerja dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim terkait dengan rencana penghapusan Ujian Nasional (UN) pertahun 2021.

Di dalam rapat, anggota Komisi X Sudewo mengkritik kebijakan yang diambil Nadiem terkait dengan UN. Menurut dia, seharusnya Kemendikbud tidak gegabah terhadap persoalan ini.

"Menurut hemat saya Pak Menteri jangan buru-buru mendeklarasikan ini dan jangan buru-buru menghapus ujian nasional. Ada sesuatu yang perlu kami dalami di sini. Apa yang menjadi rancangan, gagasan, dan bahkan ini akan menjadi sebuah keputusan. Meskipun belum hitam di atas putih, karena Pak Menteri sudah mendeklarasikan," katanya dalam rapat, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 Desember.

Politisi Gerindra ini berujar, kebijakan penghapusan mesti dikaji lebih komprehensif dengan mendengarkan semua pemangku kepentingan. Apalagi, usulan konsep asesmen pengganti UN ini belum teruji.

"Jangan sampai ada satu gagasan yang seolah-olah ini bagus, tapi implementasinya justru kontraproduktif. Lebih buruk daripada ujian nasional itu sendiri," katanya.

Sudewo mengaku, tidak sepakat UN dinilai hanya sebagai penguasaan konten bukan kompetensi penalaran. Lebih dari itu UN bisa menggambarkan kemampuan seseorang. Ia menilai, permasalahan bukan terletak pada UN tapi tataran teknis pelaksanaan yang harus dievaluasi. 

"Bagaimana supaya ujian nasional ini tetap berjalan. Tetapi kompetensi penaralan itu bisa terimplementasi," jelasnya.

Kemudian, Sudewo juga mempertanyakan, bagaimana kementerian pendidikan melakukan sistem seleksi jika tidak ada ujian nasional. Selain itu, ia juga menyinggung tolok ukur penilaian pada sekolah dan peserta didik.

"Kalau ujian nasional ini diubah menjadi asesmen kompetensi, yang saya pertanyakan sistem seleksi untuk sekolah lanjutan berupa apa? Apakah juga asesmen kompetensi? Apa instrumen yang dipakai untuk melakukan asesmen kompetensi yang menjamin terhindar dari subyektivitas?" jelasnya.

Sudewo juga meminta, Nadiem untuk menjadikan ini sebagai bahan kajian. Menurut dia, jika Nadiem memutuskan untuk menghapus UN, maka dirinya harus mampu memastikan tidak ada unsur subjektivitas dalam sistem tersebut.

"Jangan sampai subjektivitas menjadi kental sekali, ada unsur kecurigaan di tengah-tengah masyarakat kepada sekolah. Yang akhirnya menimbulkan anarkis di tengah-tengah masyarakat," katanya.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim tidak buru-buru menerapkan kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN). Menurut dia, kebijakan penghapusan UN tidak boleh sampai merugikan siswa dan orang tuanya, serta mengabaikan peningkatan kualitas guru Indonesia.

Puan juga meminta, Nadiem menjelaskan lebih rinci terkait kebijakan penghapusan UN kepada publik. Ia menilai, publik masih belum bisa memahami secara utuh kebijakan penghapusan UN. Sebab, baru berdasarkan informasi yang disiarkan lewat media massa.

"Saya minta atau saya harapkan dari Nadiem itu bisa menjelaskan sebenarnya apa yang kemudian menjadi pemikiran beliau terkait dengan UN ini," tuturnya.

Politisi PDIP ini juga mengaku, masih memiliki sejumlah pertanyaan terkait kebijakan penghapusan UN yang akan diambil Nadiem. Salah satunya adalah pertanyaan soal dasar penilaian untuk melanjutkan pendidikan dari tingkat SMA ke perguruan tinggi.

"Yang harus kita lihat atau kita tanyakan kepada Mendikbud itu apa kriterianya untuk kelulusan anak di SMA atau SMP atau SD. Dari tingkatan itu kalau enggak ada UN kemudian kalau mau masuk ke perguruan tinggi itu kita akan menggunakan apa?" tuturnya.

Sikap Puan selaku Ketua DPR justru berbeda dengan Presiden Jokowi terkait dengan penghapusan UN. Menurut Jokowi, Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang menjadi pengganti UN berguna untuk mengevaluasi level pendidikan Indonesia.

"Dari itu bisa dijadikan sebuah evaluasi. Pendidikan kita ini sampai ke level yang mana, ke tingkat yang mana. Nanti sudah dihitung, dikalkulasi," kata Jokowi.