Kenakan Baju Suku Baduy, Jokowi Diingatkan Tuntaskan UU Masyarakat Adat
Presiden Jokowi (foto: dokumentasi Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengenakan busana adat suku Baduy dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI-DPD RI. Penampilan Jokowi itu menjadi pengingat janjinya yang belum dipenuhi.

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi memandang Jokowi menunjukkan dirinya mengenakan baju adat dari Masyarakat Adat Baduy sekadar pembungkus badan.

Padahal, kata dia, Jokowi membuat Indonesia sangat jauh dari paradigma pembangunan ala Baduy yang begitu menghormati bumi.

"Janji Nawacita Jokowi terhadap masyarakat adat belum terpenuhi satu pun. Sikap dan tindakan (Jokowi) sangat bukan Baduy," kata Rukka dalam keterangannya, Senin, 16 Agustus.

Rukka memandang, saat ini perampasan wilayah adat terus terjadi. Lalu, tugas Satgas Masyarakat Adat menguap. Kemudian, Undang-Undang Masyarakat Adat belum disahkan dan justru terus melemah di DPR.

Rukka juga menyinggung penampilan Jokowi yang mengenakan baju adat dari Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun lalu. Sementaea, potret yang bertolak belakang justru dialami oleh Masyarakat Adat Besipae.

"Puluhan kepala keluarga terpaksa harus tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit setelah peristiwa pengrusakan rumah-rumah warga oleh aparat," tutur Rukka.

"Rentetan konflik terjadi karena Pemerintah Provinsi NTT tiba-tiba mengklaim lahan seluas 3.700 hektar yang tak lain adalah hutan adat Pubabu dengan cakupan Desa Linamnutu, Mio, dan Oe Ekam. Masyarakat adat direlokasi secara paksa sebab pemerintah setempat mengaku hendak mengembangkan perternakan, perkebunan, dan pariwisata di atas wilayah adat mereka," lanjutnya.

Pada Catatan Akhir Tahun 2020, AMAN mendokumentasikan sedikitnya terdapat 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat sepanjang 2020.

Pada periode Januari hingga Mei tahun lalu saja, diperkirakan seluas 1.488 hektar hutan di Papua, lenyap. Dari 40 kasus yang terjadi di total wilayah adat yang mencapai 31.632,67 hektar itu, ada lebih dari 39 ribu warga masyarakat adat yang telah mengalami kerugian ekonomi, sosial, dan moral sebagai dampak dari tindakan intimidatif, kekerasan, dan kriminalisasi.

"Tentu saja, AMAN beranggapan bahwa data yang terekam itu tak selalu menunjukkan realitas yang sebenarnya. Selayaknya fenomena gunung es, tipologi konflik yang menimpa masyarakat adat, tak hanya bersifat laten, melainkan pula tak selalu muncul ke permukaan," ucap Rukka.