Tak Ada Pertimbangan Ganja Medis dalam Kasus Reyndhart Rossy yang Berakhir Bui
Ilustrasi (Sumber: Quinntheislander/Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Perjuangan Reynhardt Rossy Siahaan si pengguna ganja untuk medis terpatahkan. Hari ini 22 Juni, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang memutus dirinya bersalah dan memvonis 10 bulan penjara. Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyayangkan putusan tersebut. 

Sebelumnya, putusan Rossy sempat ditunda pada Kamis 18 Juni karena salah seorang anggota hakim sakit. Kini Majelis Hakim memvonis dirinya dengan pasal 127 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang penyalahgunaan narkotika dengan ancaman penjara paling lama empat tahun penjara. 

Hakim memang meringankan tuntutannya dua bulan dari yang sebelumnya didakwa satu tahun. Sementara Rossy tidak mengajukan banding. "Dia menerima putusannya dan sekarang dia sudah menjalani masa tahanan tujuh bulan dan tidak mengajukan banding," kata Penasihat Hukum Rossy, Harie NC Lay kepada VOI.

Sementara itu Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang terdiri dari ICJR, IJRS, LBH Masyarakat, LeIP, Rumah Cemara, EJA, Yakeba, LGN menyangkan keputusan tersebut karena tidak mempertimbangkan alasan Rossy menggunakan ganja untuk menghilangkan rasa sakit atas penyakit saraf yang dideritanya. Padahal kata Koalisi, lewat pernyataan tertulis yang diterima VOI, Rossy seharusnya bisa lepas dari tuntutan hukum.

"Dalam kondisi tersebut, Reyndhart Rossy seharusnya dapat masuk dalam kategori daya paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP. Oleh karena itu, sudah seharusnya Reyndhart Rossy lepas dari seluruh tuntutan hukum," tertulis. 

Selain harusnya dilepaskan, putusan pidana penjara selama 10 bulan jelas mencederai rasa keadilan. Putusan ini bahkan melebihi masa tahanan yg sudah mencapai 7 bulan, dengan kata lain Rossy masih harus menjalankan 3 bulan di penjara. 

"Praktik seperti ini hanya akan semakin menunjukkan kegagalan kebijakan narkotika di Indonesia. Dan memperlihatkan bahwa seseorang dapat dipenjara akibat negara tidak menyediakan akses pengobatan yang dibutuhkan warga negaranya," pungkasnya.