Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah akan menggelontorkan dana senilai Rp695,2 triliun untuk penanganan virus COVID-19. Sebagian dana ini akan digunakan untuk pengadaan alat pelindung diri (APD) dan reagen.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo memastikan, pihaknya akan menggunakan dana itu secara transparan. Bahkan, dia meminta KPK dan Polri menyadap ponsel miliknya sebagai bentuk pengawasan.

Namun, permintaan Doni terkait penyadapan tidak bisa dilakukan. Sebab, kegiatan penyadapan tidak bisa dilakukan semudah itu. Ada aturan yang harus dipatuhi penegak hukum dalam melakukan penyadapan.

Pengamat Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta mengatakan, penyadapan oleh KPK atau Polisi harus didasari adanya dugaan tindak pidana. Jika tidak ada dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, maka hal itu tidak bisa dilakukan.

"Penyadapan karena ada dugaan tindak pidana. Tidak boleh sembarangan. Minta-minta pun tidak boleh," kata Gandjar kepada VOI, Rabu, 17 Juni.

Kata dia, pada tahap penyelidikan saja belum boleh dilakukan penyadapan. Dalam proses penyelidikan, penyelidik baru sebatas melakukan pemantauan untuk mengumpulkan barang bukti. Penyadapan baru bisa dilakukan setelah ada bukti-bukti dugaan tindak pidana dilakukan, itu pun bila diperlukan.

"Kalau dibutuhkan sadap, baru dilakukan sadap. Jadi sadap itu saran terakhir mengungkap kejahatan," kata Gandjar.

Dengan demikian, kata Gandjar, sebaiknya Doni tak perlu meminta KPK dan Polri menyadap ponselnya. Lebih baik, jika tujuannya untuk mengawasi agar tak adanya penyelewengan anggaran, Doni merekam semua ucapannya agar menjadi bukti dalam penggunaan anggaran.

"Kalau Pak Doni mau kooperatif, dia rekam sendiri saja setiap pembicaraan. Kalau minta disadap malah aneh," tegas Gandjar.

Aturan penyadapan

Merujuk aturan yang ada, penyadapan diatur dalam undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi. Dalam Pasal 40 berisi setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

Namun, diberikan pengecualian kepada aparat penegak hukum (Polri) untuk melakukan penyadapan. Dengan catatan, harus dalam rangka penegakan hukum atas permintaan penegak hukum, Kepolisian dan Kejaksaan.

Hal ini tertera pada Pasal 42 undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi. Pada ayat 2 aturan tersebut berbunyi 'untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas, permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu. Kemudian, permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku'.

Selain itu, penyadapan juga boleh dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aturan penyadapan ini tertuang di Pasal 12 UU KPK disebutkan jika lembaga antirasuah itu berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan untuk melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.