JAKARTA - Wartawan Filipina yang terkenal oposan terhadap pemerintah, Maria Ressa dihukum enam tahun penjara terkait kasus "pencemaran nama baik di media sosial (cyber libel)". Putusan itu dituduh mencederai kebebasan pers di negara tersebut karena kasus yang seperti sengaja dibuat-buat. Seperti apa duduk perkaranya?
Mengutip The Guardian, Hakim Pengadilan Manila, Rainelda Estacio mengeluarkan putusan bahwa Ressa yang merupakan editor media Rappler serta mantan peneliti Reynaldo Santos Jr bersalah atas kasus pencemaran nama baik di media siber pada 2017. Selain itu, mereka juga diganjar membayar 3.978 dolar AS atas tuduhan tersebut ditambah denda dengan jumlah yang sama atas tuntutan kasus lain. Ya, Ressa memang tersandung banyak kasus.
Kasus ini berkaitan soal cerita yang dipublikasikan media pada Mei 2012. Cerita itu mengungkap soal adanya dugaan kongkalikong antara seorang pengusaha Filipina Wilfredo D Keng dan seorang hakim pengadilan tinggi. Kasus ini sudah bergulir sejak 2017.
Kasus ini sempat dihentikan oleh Biro Investigasi Nasional karena berada di luar batas undang-undang. Namun pada 2018, departemen kehamkiman mengizinkan kasus itu kembali dibuka.
Ressa dan penasihat hukumnya menunjukkan bahwa undang-undang pencemaran nama baik yang kontroversial itu belum ada ketika artikel terbit. Namun, departemen kehakiman mengizinkan kasus tersebut diteruskan karena artikel telah diperbarui beberapa bulan kemudian untuk memperbaiki kesalahan pengejaan.
Selain kasus ini, Ressa juga menghadapi tuntutan lain, seperti tuduhan kasus kepemilikan saham ilegal oleh asing di perusahaannya dan investigasi soal pajak. Izin operasi Rappler juga sempat dicabut karena masalah ini.
Beragam kasus
Selain kasus ini, Ressa dan medianya yang telah meneliti tentang keburukan Duterte, banyak diserang tudingan-tudingan menyangkut keuangan Rappler. Berbagai tuduhan itu jika diakumulasi bisa menyebabkan hukuman sampai seratus tahun penjara.
Seperti diketahui, situs tempat Ressa bekerja telah mengungkap praktik korupsi, pasukan bot dan dokumentasi soal kampanye anti-narkoba brutal yang dilakukan Duterte. Baru-baru ini, akibat kebijakan pemberantasan narkobanya, PBB memperingati Duterte karena telah menyebabkan pembunuhan di luar hukum secara luas.
Masih mengutip The Guardian, dalam pemberantasan narkoba tersebut, menurut data pemerintah sendiri setidaknya 8.663 orang telah terbunuh dalam penumpasan itu. Sementara perkiraan lain menyebutkan jumlah korban tiga kali lipat dari itu.
Mengancam kebebasan pers
Menurut The Guardian, kasus ini dilihat sebagai upaya memberangus media. Ditengarai ada intervensi dari seorang pengusaha tentang sebuah cerita yang ditulis pada lima tahun lalu berkaitan hubungannya dengan salah seorang hakim di pengadilan tinggi negara itu.
Pada konferensi pers setelah pengumuman putusan, Ressa bersumpah untuk terus berjuang. "Kebebasan pers adalah dasar setiap hak yang anda miliki sebagai warga negara Filipina. Jika kami tidak punya kuasa untuk melaporkan, kami tidak akan dapat melakukan apa pun," ujarnya.
BACA JUGA:
Sementara itu seorang tim pengacara Ressa dari Doughty Street Chambers, Inggris, Amal Clooney mengatakan pengadilan telah telah berkomplot untuk membungkam seorang jurnalis karena mengekspos korupsi dan adanya penyalahgunaan wewenang. "Keyakinan ini merupakan penghinaan terhadap aturan hukum, peringatan yang tegas bagi pers dan pukulan bagi demokrasi di Filipina. Saya berharap bahwa pengadilan banding akan meluruskan dalam kasus ini," kata Clooney.
Kasus penangkapan ini telah mendapat kecaman dari kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia. Mereka juga mendorong agar PBB turun tangan untuk memperingatkan pemerintah terkait nampaknya pola intimidasi terhadap media independen di negara tersebut.