JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana untuk membuat rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Ulama, Tokoh Agama dan Simbol Agama. Bahkan, RUU ini masuk ke dalam Prolegnas jangka panjang periode 2020-2024.
RUU tersebut diinisiasi oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai komitemen untuk merealisasikan janji kampanye pada pemilu 2019. Tujuannya PKS ingin para tokoh dari seluruh agama mendapatkan perlindungan dari negara.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus berpandangan, dirinya tidak menemukan alasan yang mendasar kenapa RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama ini perlu ada.
Pertanyaan mendasarnya, kata Lucius, siapa yang potensial mengancam tokoh agama dan seberapa kuat potensi ancaman itu sehingga perlu dibuatkan payung hukum khusus untuk melindungi tokoh agama.
"Jawaban atas pertanyaan di atas bisa sangat sumir. Pengusul RUU ini menyebut kriminalisasi terhadap tokoh agama kerap terjadi. Akan tetapi kita tahu semua bahwa tuduhan kriminalisasi cenderung merupakan opini yang sekadar ingin membela diri," tutur Lucius, kepada VOI, di Jakarta, Senin, 10 Desember.
Padahal, kata Lucius, selama ini penegak hukum umumnya bertindak berdasarkan bukti dan fakta. Tuduhan kriminalisasi juga kadang dipakai untuk melindungi tindakan kriminal yang dilakukan. Apalagi tuduhan kriminalisasi ini ditujukan kepada penegak hukum. Mestinya jika benar kriminalisasi, proses pengadilan bisa dipakai untuk mengujinya.
"Ada bahaya jika tokoh agama dilindungi. Di satu sisi mereka akan terlindungi setiap tindakannya dalam menjalankan syiar keagamaan. Tetapi di sisi lain perlindungan ini justru bisa menjadi senjata bagi tokoh agama untuk menyalahgunakan fungsinya sebagai tokoh agama. Misalnya untuk kampanye politik atau ideologi yang bertentangan dengan Pancasila," kata Lucius.
Alih-alih menyehatkan kehidupan beragama, Lucius berujar, RUU ini justru akan menjadi bom waktu yang akan makin merusak harmoni kehidupan. Bayangkan atas nama perlindungan itu, tokoh agama bisa berbicara dan berbuat apa saja. Ini justru malah bisa mengancam yang lain.
"Apalagi jika kemudian semua orang bebas menjadi tokoh agama. Tak peduli dengan kapasitas keagamaannya. Kan artinya orang yang tiba-tiba punya kemampuan orasi, menyebut ayat-ayat dengan mudah disebut tokoh agama padahal mungkin hanya seorang provokator," jelasnya.
Menurut Lucius, jika pun RUU ini tetap berjalan pembahasannya di DPR, anggota dewan perlu memperhatikan indikator secara rinci seseorang bisa disebut tokoh agama. Termasuk mengenai keilmuannya.
Sementara itu, Ketua Komisi VIII Yandri Susanto mengatakan, perlindungan terhadap simbol agama itu jangan diartikan hanya ustaz. Tapi juga pendeta, dan semua tokoh agama. Jadi, tidak boleh ada persekusi.
"Itu kira-kira yang mendasari teman-teman mengajukan itu, dan mereka juga sudah menyiapkan naskah akademiknya. Maka itu dianggap layak untuk dijadikan sebagai daftar prolegnas tapi dia bukan prioritas 2020. Walaupun nanti misalnya dibahas, ya mungkin dari sisi judul nanti juga berdebat lama. Biasa," jelas Yandri.
Yandri memberi contoh alotnya pembahasan suatu RUU di DPR. Di antaranya RUU Minol yang memakan waktu hingga dua periode, namun belum jelas juga. Kemudian, RUU Pertanahan yang sudah tiga periode, tapi tak kunjung rampung. Pembahasan RUU perlindungan tokoh agama juga dirasa tidak akan cepat.
"Jadi UU itu enggak ada jaminan akan selesai dan segera dibahas. Jadi Prolegnas itu sesuai dengan UU MD3 bahwa kita menampung terhadap beberapa usulan RUU yang dari sisi kesiapan sudah layak dijadikan UU," tuturnya.
Terkait dengan apakah RUU ini bertentangan dengan hak atas hukum yang setara bagi semua warga negara, Yandri mengatakan, hadirnya usulan ini berangkat dari peristiwa yang terjadi belakangan ini.
"Nanti kan akan ada perdebatan. Kita akan undang semua stakeholder yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam UU itu. Misalkan, pandangan masyarakat terhadap kenapa sih cuma simbol agama yang dilindungi? Kami gimana?," kata Yandri.
Yandri menegaskan, RUU ini akan menyasar semua tokoh agama tidak hanya satu golongan tertentu. "Kemarin waktu saya rapat di Baleg itu bahwa simbol agama itu ya semua agama. Enggak hanya Islam," ucapnya.
Sebelumya, Presiden PKS Sohibul Iman berkomitmen untuk merealisasikan empat janji kampanyenya pada Pemilu 2019 lalu. Salah satunya, menginisiasi Rancangan Undang-Undang ( RUU) tentang Perlindungan Ulama, Tokoh Agama dan Simbol Agama.
Sohibul mengatakan, sebagai langkah awal realisasi atas janji politiknya, PKS akan mengajukan RUU tersebut dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
Sohibul menekankan, PKS ingin para tokoh dari seluruh agama harus mendapatkan perlindungan dari negara. Sebab itu, ia menilai perlu adanya payung hukum untuk menjamin kepastian perlindungan dari negara.