Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Perdagangan mengungkap bahwa selama masa pagebluk COVID-19, Indonesia mendapat 16 kali tuduhan melakukan 'kecurangan' atau menggunakan instrumen trade remedies di perdagangan Internasional. Akibat tuduhan ini, devisa negara sebesar 1,9 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp26,5 triliun berpotensi hilang.

Padahal trade remedies adalah instrumen yang digunakan secara sah untuk melindungi industri dalam negeri suatu negara dari kerugian atau ancaman akan terjadi kerugian sebagai akibat praktik perdagangan tidak adil atau karena ada lonjakan impor dan perkembangan tidak terduga.

Aturan mengenai trade remedies ini disusun oleh World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia. Bentuknya bisa berupa bea masuk anti dumping (BMAD) ataupun bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP) atau safeguards dan Bea Masuk Imbalan (BMI).

Plt Direktur Jenderal Luar Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina mengatakan, 16 inisiasi tuduhan trade remedies tersebut berupa anti dumping dan safeguards dari negara mitra perdagangan terhadap produk ekspor Indonesia di negara tujuan ekspor. 

"Semua tuduhan tersebut berpotensi akan menyebakan hilanganya devisa negara yang diperkirakan 1,9 miliar dolar AS atau setara Rp26,5 triliun. Suatu angka yang tak sedikit di tengah kondisi membutuhkan sumber-sumber devisa untuk pendapat negara. Itu jumlah yang besar dalam waktu lima bulan ini," katanya, dalam diskusi virtual, Senin, 8 Juni.

Berdasarkan data Organisasi Perdagangan Dunia, dalam lima tahun terakhir tercatat terdapat peningkatan pengenaan BMAD, BMTP, dan BMI secara global 36 persen. Secara total naik dari 182 kasus pada 2013 menjadi 244 kasus pada tahun 2019.

Srie mengatakan, di Indonesia tercatat sebanyak 84 kasus dari pengenaan instrumen trade remedy global. Jumlah tersebut kurang dari 2 persen pengenaan instrumen trade remedy global.

Lebih lanjut, Srie menyebut, ada 8 produk ekspor Indonedia yang dituduh terlibat dalam antidumping dan safeguards. Produk-produk tersebut adalah monosodium glutamat, produk baja, produk aluminium, produk kayu, produk benang tekstil, bahan kimia, mattress bed dan produk otomotif.

"Yang rentan mengalami tuduhan selama ini adalah produk baja 63 kasus, tekstil 55 kasus, produk kimia 50 kasus, produk mineral 37 kasus, dan produk kayu 52 kasus," jelasnya.

Negara-negara yang Sering Menuduh Indonesia

Srie mengungkap, negara-negara yang paling sering menuduh Indonesia dengan instrumen remedy tercatat adalah India 54 kasus, Amerika Serikat 37 kasus, Uni Eropa 37 kasus, ASEAN 34 kasus dan Australia 28 kasus.

Kemudian, lanjut Srie, negara lainnya adalah Turki 23 kasus, Malaysia 19 kasus, Philipina 15 kasus, Afrika Selatan 14 kasus, dan Brasil 11 kasus.

"Indonesia berada pada peringkat ke-8 negara yang paling sering menjadi target dalam penyelidikan dan penerapan antidumping measure di dunia," katanya.

Tak hanya Indonesia, Srie menyebutkan, negara-negara di dunia yang sering menjadi target pengenaan BMAD adalah China dengan 1.008 kasus, Korea 283 kasus, Taipe 210 kasus, Amerika Serikat 189 kasus, Jepang 164 kasus, Thailand 161 kasus, India 144 kasus, dan Indonesia 140 kasus.

"Melihat ini kita mengambil sisi positifnya saja, karena Indonesia juga dipandang sebagai kekuatan setara dengan negara-negara industri dunia tersebut," ucapnya.

Sementara itu, kata Srie, untuk tuduhan anti subsidi Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara yang paling sering menjadi objek tuduhan anti subsidi, dan negara ke-7 terbesar dunia yang paling sering digunakan BMI setelah China, India, Korea, Uni Eropa, Brazil dan Italia.

Namun, Sri menjelaskan, tidak semua penyelidikan anti subsidi berakhir pada pengenaan atau hanya 58 persen saja yang berakhir pada pengenaan Bea Masuk Imbalan, sisanya bisa ditangkal.

"Tentunya ini setelah kita melakukan pembelaan bersama secara efektif dan terkoordinasi," katanya.