Alasan Kenormalan Baru Belum Cocok untuk Jakarta
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jakarta akan selesai hari ini. Lalu, apakah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menerapkan pola kenormalan baru atau memperpanjang PSBB sebagai langkah dalam mengahadapi pagebuk COVID-19.

Banyak pertimbangan yang membuat pola kenormalan baru belum cocok diterapkan di Jakarta. Meski, tingkat penularan sudah cukup rendah atau di angka 1 yang artinya 1 orang bisa menularkan ke seorang lainnya.

Sosiolog Universitas Indonesia Bayu A. Yulianto menyebut, tingkat kesadaran masyarakat di Jakarta dalam menerapakan protokol kesehatan semakin rendah setiap harinya. Dalam kehidupan sehari-hari banyak masyarakat yang menjalankan protokol kesehatan seadanya.

"Lihat saja di semua bidang aktivitas masyarakat, yang sederhana, itu praktek cuci tangan, masker, jaga jarak. Semakin hari bukan semakin bagus, malah makin parah," kata Bayu kepada VOI, Kamis, 4 Juni.

Dibeberapa tempat, kata Bayu, segelintir masyarakat memang menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Tetapi, tidak di tempat lain, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Jaga jarak fisik seolah tak berlaku karena masih saja terjadi kerumunan.

"Di pasar, terminal, warung makan, dan lain-lain masih banyak kita lihat masyarakat yang tidak menerapkan protokol kesehatan. Ini menjadi cerminan rendanya tingkat kesadaran masyarakat," kata Bayu.

Menambahkan, Sosiolog Universitas Gajah Mada Sunyoto Usman mengatakan, penyebab rendahnya kesadaran masyarakat dipengaruhi kurangnya sosialisasi terkait COVID-19. Sehingga, banyak yang seolah tak perduli dengan protokol kesehatan di tengah masa pagebluk.

"Kesadran dipengaruhi oleh sosialisasi pengetahuan COVID-19. Kantong-kantong (daerah) yang sosialisasinya intensif kesadarannya relatif lebih baik," singkat Sunyoto.

Kasus positif fluktuatif

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan, faktor lain yang menyebabkan pola kehidupan baru belum cocok diterapkan di Jakarta, yaitu angka kasus positif yang fluktuatif. Sehingga belum bisa dikatakan penularan COVID-19 di ibu kota rendah.

Ada dua penyebab jumlah penularan di DKI Jakarta masih fluktuatif. Pertama terkait dengan kapasitas pendeteksi atau pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) yang minim.

"Dari awal memang fluktuasi ini terjadi faktor terbesarnya karena fasilitas pemeriksaan. Artinya kapasitas deteksi, seperti, pemeriksaan PCR yang dari dulu dilakukan kapasitas kita terbatas," kata Hermawan.

Kemudian, penyebab kedua berkaitan dengan hari Raya Idulfitri. Sebab, sesudah dan sebelum lebaran aktivitas masyarakat di luar rumah meningkat. Sehingga, berdampak pada peningkatan potensi penyebaran COVID-19.

"Arus mudik tidak terlalu menentukan tetapi kemarin kan sempat ramai sebelum dan sesudah lebaran. Area-area publik menjadi ramai terjadi permisivisme (menizinkan seusatu)," pungkas Hermawan.