JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjatuhkan sanksi terhadap dua penyidik kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) COVID-19 yaitu Mochammad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga. Keduanya dinyatakan melanggar etik karena melakukan perundungan saat memeriksa Agustri Yogasmara, yang merupakan saksi dalam kasus tersebut.
Hanya saja, Praswad angkat bicara dan menyebut jika apa yang dia dan koleganya lakukan adalah teknik interogasi. Selain itu, penyidik ini juga menganggap Dewan Pengawas KPK tak melihat secara utuh konteks kejadian yang disebut sebagai bentuk perundungan terhadap saksi.
Adapun keputusan dewan pengawas ini dibacakan dalam sidang putusan kode etik terkait penyidikan perkara bansos yang digelar pada Senin, 12 Juli.
"Menyatakan terperiksa satu, Mochammad Praswad Nugraha dan (terperiksa, red) dua, Muhammad Nor Prayoga bersalah melakukan pelanggaran kode dan pedoman perilaku berupa perundungan dan pelecehan terhadap pihak lain," kata anggota Dewan Pengawas KPK yang juga Ketua Majelis Hakim Sidang Etik, Harjono dalam persidangan secara daring.
Dalam sidang tersebut, Praswad dijatuhi sanksi sedang berupa pemotongan gaji sebesar 10 persen selama 6 bulan. Sementara terhadap Nor Prayoga, dewan pengawas menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis satu dengan masa hukuman tiga bulan.
Hal yang memberatkan keduanya adalah mereka telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh pimpinan. Sedangkan hal yang meringankan adalah keduanya mengakui perbuatannya bahkan berjanji tak akan mengulangi tindakannya.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Permusyawaratan Majelis pada Rabu, 30 Juni oleh Harjono selaku ketua majelis, Albertina Ho dan Syamsuddin Haris sebagai anggota majelis.
Kronologi terjadinya perundungan terhadap saksi
Dalam sidang tersebut, Dewan Pengawas KPK memaparkan kronologi perundungan yang dilakukan keduanya saat melakukan pemeriksaan terhadap Yogas yang kerap disebut sebagai perantara anggota DPR RI Ihsan Yunus.
Sekilas mengenai Yogas, dirinya pernah menerima dua unit sepeda Brompton dari pihak swasta yang jadi pemberi suap dalam kasus ini yaitu Harry Van Sidabukke. Selain itu, Yogas juga disebut menerima uang Rp1,53 miliar.
Kembali ke persidangan, dua penyidik ini disebut dewan pengawas merundung Yogas di dua kesempatan berbeda yaitu saat penggeledahan di kediaman Yogas pada 12 Januari lalu dan saat pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK sehari setelahnya atau 13 Januari.
Pada saat di kediaman Yogas, Dewan Pengawas KPK menyebut perundungan dilakukan secara verbal dengan berbagai ucapan yang disampaikan.
"Elu siapa? Memangnya elu siapa? sampai ada orang datang ke sini beli 3 juta paket," demikian disebutkan Dewas Pengawas KPK menirukan pernyataan Praswad.
"Ini Pak, orang yang nggak tahu diri ini, lu ini pegang 3.600.000 paket, gila, tiba-tiba orang se-Indonesia beli paket ke lu 3.600.000 paket, gila apa, elu siapa? Ini orang gila apa, sarap, gila orang ini, orang gila orang ini, lu kalau datang apa ini... ucuk-ucuk, gila apa kau, datang-datang minta paket, lu sadar gak sih udah goblok bener setengah jam ini, gua bilang deh sama orang ini, orang ini gila deh," kata Praswad kepada Ketua RT di kediaman Yogas seperti ditirukan oleh dewan pengawas saat sidang berlangsung.
Selain kata-kata, kedua penyidik ini juga memperlihatkan bahasa tubuh intimidatif seperti mengangkat kaki, menunjuk saksi hingga menunjuk pelipis kepala sendiri sambil berkata, 'mikir!' dan sejumlah gestur lainnya.
BACA JUGA:
Perundungan ini juga disebut Dewan Pengawas KPK saat pemeriksaan di KPK tepatnya di lantai 2 Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan pada 13 Januari lalu.
Saat itu, kedua penyidik ini kembali melontarkan sejumlah pernyataan intimidatif semisal 'ini harus masuk penjara', 'woi lu ini, kalau ini polsek, gue buat lu pincang, bener, untung lu ketemu gue di KPK'.
Tak hanya itu keduanya juga menunjukkan sikap intimidatif seperti seolah-olah akan melempar sesuatu pada Yogas.
Seluruh fakta tersebut didukung oleh keterangan saksi yaitu Yogas dan sejumlah pihak yang telah diperiksa. Selain itu, dewan pengawas juga telah memeriksa barang bukti yang berkaitan dengan kejadian ini.
Setelah mendengar putusan Dewan Pengawas KPK, penyidik KPK Mochammad Praswad Nugraha angkat bicara. Menurutnya, apa yang dilakukannya saat itu bentuk dari teknik interogasi dalam proses penyidikan.
"Peringatan tersebut muncul sebagai upaya kami menghentikan adanya ancaman yang dilakukan oleh Agustri Yogasmara terhadap saksi lainnya, serta teknik-teknik interogasi dalam penyidikan," kata Praswad dalam keterangan tertulisnya, Senin, 12 Juli.
Dirinya juga menyebut potongan kata-kata yang disampaikan oleh dewan pengawas dalam putusan sidang etik tak sesuai dengan konteks kejadian secara utuh. "Antara lain, yang pertama adalah suasana dan intonasi saat komunikasi dilakukan," tegas penyidik kasus suap bansos tersebut.
"Kemudian latar belakang dialog yang terjadi 3-4 jam sebelumnya. Ketiga, upaya peringatan agar saksi tidak melanggar pasal pemidanaan karena memberikan keterangan yang tak sesuai dengan barang bukti lainnya," imbuh Praswad.
Dirinya menganggap kejadian ini adalah risiko karena telah membongkar kasus bansos COVID-19 yang jumlah anggarannya cukup masif hingga Rp6,4 triliun.
"Serangan balik terhadap upaya pemberantasan korupsi bukanlah hal yang baru," ungkap Praswad.
Lagipula, dia menilai hukuman dari dewan pengawas bukanlah sesuatu yang luar biasa jika dibandingkan dengan penderitaan korban korupsi bantuan sosial, korban PHK, dan rekan-rekan disabilitas. Praswad menganggap merekalah yang dirampas haknya karena dikorupsi.
Namun dia berharap kejadian semacam ini tak lagi terjadi dengan para penyidik lainnya yang berupaya membongkar perkara korupsi yang bombaastis.
"Kami mohon Dewas KPK secara konsisten dapat menjadi lentera keadilan terhadap berbagai dugaan pelanggaran etik serta tindakan koruptif yang benar-benar merusak KPK dan merusak Indonesia," pungkasnya.