JAKARTA - Pupus lagi harapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) membersihkan kandidat pemilihan umum dari mantan narapidana korupsi. Dalam Peraturan KPU Nomor 18 yang baru diterbitkan, tak ada larangan bekas koruptor mencalonkan sebagai kepala daerah.
PKPU ini merupakan perubahan atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017. Aturan tersebut memuat tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang diterbitkan oleh Ketua KPU Arief Budiman pada 2 Desember 2019.
Dijelaskan Pasal 4 huruf (h) PKPU 18/2019, mantan narapidana yang tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, yakni mantan narapidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Sementara, aturan larangan bagi mantan narapidana korupsi tidak tercantum.
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik menjelaskan alasan batalnya larangan bagi mantan narapidana korupsi mencalonkan diri. Ia bilang, rencana ini banyak menuai perdebatan. Di sisi lain, tahapan Pilkada 2020 akan mulai berjalan sebentar lagi dan KPU terdesak untuk menerbitkan aturan secepatnya.
"Ini terlalu dipersoalkan, bisa menggangu tahapan pencalonan. Sekarang kan tahapan pencalonan sudah berjalan dari 26 Oktober, sehingga apa yang menjadi syarat-syarat bagi calon perseorangan harus sudah selesai," ucap Evi saat dihubungi, Jumat 6 Desember.
Evi mengakui pihaknya tak mungkin gegabah mencantumkan pelarangan eks koruptor pada PKPU 18/2019. Berkaca pada kasus Pileg 2019, KPU berinisiasi mencantumkan larangan pencalonan eks koruptor.
Ternyata, sejumlah pasal dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang isinya melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg digugat ke Mahkamah Agung (MA). Sampai akhirnya, MA membatalkan pasal larangan tersebut dan mantan narapidana dalam kasus tersebut boleh kembali nyaleg, setelah sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) pencalonan.
KPU tak ingin polemik gugatan itu terulang tapi mereka tetap ingin calon kepala daerah bersih dari latar belakang korupsi. Karenanya, ada imbauan kepada partai politik untuk mengutamakan calon yang bukan eks koruptor. Imbauan tersebut masuk dalam Pasal tambahan PKPU 18/2019.
"Dalam seleksi bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi," tulis Pasal 3A ayat (3).
Larangan mesti dari akarnya
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengaku sudah memprediksi tak ada larangan mantan napi korupsi dalam PKPU. Sebab, KPU berhadapan dengan ekosistem hukum dan politik yang tidak mendukung terobosan yang ingin dilakukan KPU.
Kalau KPU tetap mengatur sekali pun, Kemenkumham pasti tidak bersedia mengundangkannya karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Belum lagi adanya potensi gugatan ke MA.
"Jadi dalam hal ini, KPU akan berhadapan dengan perlawanan politik dan hukum sekaligus dari para pihak yang menentang pengaturan itu," tutur Titi dalam sambungan telepon.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan tembus untuk melegalkan pelarangan eks koruptor dalam sistem demokrasi ini, yakni menambahkan muatan larangan dalam tataran aturan yang lebih tinggi dari PKPU. Caranya adalah mengubah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
"Kami menaruh harapan besar bahwa Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan uji materi kami atas pencalonan mantan napi. Kami berharap MK akan memberikan kejelasan dan angin segar bagi upaya kita mendapatkan calon kepala daerah yang berintegritas," jelas Titi.
Lanjut Titi, jika bukan dengan Putusan MK, di tengah kondisi DPR yang tidak ingin mengubah UU Pilkada, maka polemik soal ini tidak akan pernah berhenti.
"Ini upaya kami untuk menjaga agar pencalonan pilkada kita bisa terbebas dari calon-calon yang bermasalah dan beresiko bagi publik," tutup dia.